“Setelah para pihak berbantah-bantahan. Maka BPN memilih mana yang diklarifikasi dan mana yang tidak. BPN menentukan apakah layak dipertimbangkan bantahan dari para pihak ataupun mana yang diabaikan, karena BPN punya kewenangan. Setelah peta inventarisasi dan danom selesai. Maka dinilai oleh tim apraisal yang ditunjuk UU dengan berbagai variabel besarnya ganti rugi tanah,” tuturnya.
Sementara saksi ahli lainnya, Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia menjelaskan, delik penyertaan dalam pasal 55 KUHP harus dibuktikan meeting of mind semua pelaku.
Kata Achjani artinya, harus dibuktikan adanya bentuk pemufakatan jahat semua pelaku, sehingga tindak pidana terjadi.
“Kemudian ahli menerangkan upaya pidana merupakan langkah terakhir jika upaya hukum lain tidak mampu lagi menyelsaikan masalah yang ada sebagaimana asas ultimum remedium, artinya jika permasalahan hukum bisa diselesaikan dengan upaya hukum lain, seperti upaya administrasi atau perdata, maka tidak perlu upaya pidana,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, kemudian terkait prejudicial geschil dalam pasal 51 KUHP. “Jika terdapat hal hal lain yg menjadi pertentangan dalam suatu masalah yang merupakan ranah hukum lain, seperti ada sengketa perdata, atau masalah administrasi yang harus diselesaikan terlebih dahulu, hukum pidana harus menunggu upaya hukum tersebut selesai dulu,” ucapnya.
Kemudian keterangan Ahli Tri Wibisono mantan auditor BPK, menerangkan bahwa pencatatan aset dilakukan pada saat bukti kepemilikannya sudah ada, barang, sudah dikuasai, pembayaran sudah dilaksanakan, ahli mencontohkan pencatatan aset suatu kendaraan bermotor, baru dapat dicatatkan dalam catatan aset.