HARIANHALUAN.ID – Ketua Komisi II DPRD Sumbar, Mockhlasin mengatakan terkait persoalan Keramba Jaring Apung (KJA) di Maninjau, ini sudah dibahas secara berulang-ulang. Kemudian perda tentang penataan Danau Maninjau juga sudah disahkan.
“Mestinya hal ini bisa dieksekusi, karena jumlah keramba danau yang saat ini sudah melampaui dan berada di ambang batas. Secara perlahan mestinya sudah diarahkan untuk dilakukan penataan ulang,” ujarnya kepada Harianhaluan.id, Kamis (4/8/2022).
Mockhlasin mengatakan, langkah pertama yang harus dilakukan yaitu benar-benar dihentikan segala bentuk penambahan keramba tersebut. Tentunya, harus ada pengawasan secara intensif terhadap jumlah keramba yang overload atau kelebihan muatan ini.
Kemudian secara perlahan juga harus ada pengurangan sesuai dengan arahan perda, karena memang dengan jumlah keramba yang melampaui batas inilah pencemaran di Danau Maninjau terjadi, ekosistem rusak, baik itu mulai dari danau yang tercemar dan lainnya.
“Saya belum mengetahui kondisi terkini seperti apa. Kita dalam laporan ini memanggil Dinas Perikanan untuk meminta laporan terkini. Kita juga belum melakukan evaluasi khusus terhadap Danau Maninjau,” katanya.
Meskipun demikian, sambungnya, hal tersebut memang harus dikurangi karena ada perpaduan dinas terkait, seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, bisa juga Dinas Koperasi, Dinas Perindag.
Dikatakannya, pengurangan jumlah keramba otomatis harus ada alternatif. Pertama dari sisi usaha dan fasilitasi, karena merubah ke pengurangan tentu harus ada solusi yang dilakukan, karena bukan hanya dikurangi tapi juga harus ada solusinya.
“Solusi ini tentu harus ada alternatif usaha, dengan usaha ini orang-orang ini dengan sukarela bisa kesadaran menjaga kelestarian danau jauh lebih penting dari pada mementingkan individunya. Tentu dengan cara seperti ini harus ada alternatif solusi, kita bukan melarang tapi mengatur sekaligus memberikan solusi jalan keluar terhadap permasalahan ekonominya,” ucapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPRD Sumbar, Arkadius Dt Intan Bano mengatakan, Danau Maninjau di samping memang ada kondisi alam dari perut bumi dan dipengaruhi banyaknya KJA yang melebihi kapasitas potensi yang ada di Maninjau.
“Beberapa waktu lalu berada 18 ribu petak. Sekarang sudah 23 ribu petak. Sedangkan daya tampung hanya lebih kurang enam ribu petak,” ujarnya.
Arkadius mengatakan, jumlah tersebut tentu memang KJA lebih banyak mendekat ke tepi danau, atau di tempat yang dangkal, sehingga di saat memberikan makan limbahnya itu tersebar di danau yang mempercepat proses terbentuknya kondisional amoniak di dalam perut bumi keluar, sehingga terjadi kematian ikan dalam jumlah yang cukup besar.
Oleh karena itu, kata Arkadius, langkah-langkah strategis yang dilakukan yaitu perda yang sudah disiapkan dan akan dilaksanakan peraturan gubernur terkait jumlah keramba tersebut, untuk melaksanakan proses penggeseran keramba ke tengah atau ke tempat yang lebih dalam.
“Dulu memang Tahun 2012 sudah diarahkan agar membuat instalasi air. Jadi di saat amoniak perut bumi keluar bisa disemprot melalui air bersih yang ada di luar, sehingga terjadi normalisasi atau kekentalannya berkurang. Tapi memang masih belum dijalankan dalam tatanan seperti itu,” ujarnya.
Lebih jauh disampaikannya, pada pembahasan KUA-PPAS tahun 2023 kemarin ia meminta kepada Dinas Perikanan dan Kelautan betul-betul harus mengelola Danau Maninjau secara baik, sehingga perda yang sudah ditetapkan ini bisa dijalankan dan masyarakat tidak mengalami kerugian, termasuk pencemaran danau. (*)