HARIANHALUAN.ID – Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Sumbar, Finny Fitry Yani menyebut kasus morbili atau campak sejak dua bulan terakhir sangat meningkat. Bahkan banyak ditemukan kasus campak dengan komplikasi ke paru-paru dan radang otak, yang mengakibatkan kematian cacat.
Bahkan saat ini, dimana-mana banyak anak-anak yang sakit campak, pertusis (batuk rejan), difteri, dan lain-lain. Ia membenarkan, jika peningkatan kasus ini merupakan pengaruh pandemi dua tahun belakang
“Jelas sekali, ini pengaruh pandemi. Pertama, selama pandemi dua tahun terakhir, lebih dari 60 persen bayi dan anak-anak di Sumbar yang lahir selama pandemi, tidak mendapatkan imunisasi dasar, seperti BCG, DPT, Polio, HB, HiB dan campak. Akibatnya, bayi dan anak-anak tersebut tidak memiliki kekebalan terhadap penyakit-penyakit tersebut,” ucap Finny, Kamis (4/8/2022).
Kondisi itu membuat virus dan bakteri penyebab PD3I, mudah menyerang bayi dan anak-anak. Menurutnya, sebelum pandemi penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi hampir tidak ada lagi muncul, karena masa itu semua bayi dan anak sudah diimunisasi lengkap, sehingga kekebalannya bagus.
Jadi dengan alasan pandemi, telah menyebabkan anak-anak kehilangan haknya untuk hidup sehat dengan imunisasi.
Selain itu, pandemi telah mengakibatkan beberapa perubahan pola virus dan bakteri di alam, sehingga ada virus bakteri yang dulunya tidak ganas, menjadi ganas, sehingga muncul penyakit-penyakit baru yang dapat menyerang anak.
“Contohnya penyakit hepatitis yang tidak diketahui, monkey fox, dan lain-lain,” tuturnya.
Finny menyebut, untuk menekan jumlah penyakit campak di Sumbar usaha penting yang dapat dilakukan adalah memberikan dan melengkapi imunisasi pada bayi dan anak.
Saat ini, sejak dua bulan yang lalu pemerintah telah membuat program Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN), dengan kegiatan memberikan inunisasi dasar pada bayi dan anak yang imunisasinya belum lengkap, berapapun usianya.
Berikutnya, pada BIAN juga diberikan vaksin MR (Measles dan Rubella) yang sangat penting untuk menumbuhkan kekebalan terhadap virus morbilli (campak) dan virus rubella (dapat menyebabkan cacat pada otak, mata, telinga dan jantung anak). Vaksin MR ini diberikan berbasis sekolah-sekolah untuk usia 9 bulan sampai dengan 15 tahun.
Ia mengajak orang tua untuk membawa anak-anaknya melengkapi imunisasi pada program BIAN ini. “Nah, bawalah, ikutilah kegiatan tersebut. Bawalah dan izinkanlah anak-anak kita diberikan imunisasi tersebut. Jika kita tidak mau, maka berarti kita telah membiarkan bayi dan anak-anak kita terjun ke medan perang (dunia luar) tanpa memberikan perlindungan kepada mereka. Ini adalah sikap yang tidak baik,” ucapnya.
Meningkatnya jumlah penyakit campak saat ini, disebutkannya, ada korelasinya dengan capaian imunisasi anak.
“Jelas sekali berkorelasi. Saat ini, pencapaian vaksinasi campak kita sama BIAN, masih termasuk 10 besar terendah di Indonesia. Masih sekitar 30 persen bayi dan anak yang sudah divaksin, masih ada sekitar 70 persen lagi yang belum,” ucapnya.
Padahal secara teori, jika vaksinasi dapat mencapai >90 persen anak, maka barulah akan terbentuk kekebalan kelompok atau komunitas (herd immunity), di mana suatu kelompk akan terlindung dari penyakit tersebut.
Jika kondisi ini dibiarkan, orang tua tetap tidak membawa anaknya vaksin, maka makin banyak bayi dan anak yang sakit dan mengalami komplikasi penyakit campak. (*)