“Saya tidak mau jadi sopir. Saya berhenti. Saya bilang waktu itu saya ingin punya mobil. Oleh karena itu, saya harus fokus. Karena saya punya modal, saya beralih menjadi penjual petai di pasar, yang waktu itu satu sepeda harga petai itu Rp100,” tuturnya.
Lika-liku kehidupan mulai ia lalui setelah berhenti menjadi kernet oplet dan mulai berdagang petai. Usia 15 tahun, ia punya motivasi untuk membahagiakan keluarga. Pesan kedua orangtua selalu menjadi penyemangat utama baginya dalam berusaha.
“Sebelum merantau ibu saya berpesan, rezeki itu ada sebelum matahari terbit. Saya selalu bergerak dan bergerak setelah Subuh. Kemudian, pesan orangtua saya kalau nanti punya rezeki jangan lupa orang tua, dunsanak dan kampung halaman, serta jangan merokok. Empat hal itu yang membawa saya sampai ke titik ini,” tuturnya di hadapan puluhan generasi muda yang tergabung dalam HIPMI Sumbar.
Pesan kedua orangtua tak semata-mata jadi angin lalu baginya. Tahun 1990-an, ia kembali dan memberanikan diri membangun kampung halaman dengan menyalurkan 400 unit oplet sebagai angkutan umum kota saat itu. Tak hanya itu, dua tahun kemudian tepatnya pada 1992 ia juga memberanikan diri membangun mall.
“Saya diundang untuk membuat sesuatu di kampung halaman, saya menjadi orang pertama yang menyalurkan oplet dan membangun mall. Ketika itu, banyak orang yang mengatakan saya orang gila. Saya tidak peduli, saya berani mengambil langkah ini,” ujarnya.
Kesuksesannya bukan semata-mata hanya untuk dirinya saja. Ia mulai menerapkan apa yang diperolehkan kepada anak-anaknya. Ia mendukung dan mendorong mereka dengan apapun keinginan mereka dalam dunia pendidikan dan meraih cita-cita.