“Kita mendapatkan dokumen itu di lapangan, mereka juga menawarkan fee atau uang untuk nagari, pemuda dan persentase hasil tambang bagi pemilik lahan,” ucapnya.
Walhi sendiri sejauh ini juga menerima laporan tentang adanya dugaan keterlibatan oknum penegak hukum yang bermain dibelakang layar. Namun hal itu masih diverifikasi ketingkat kevalidan, artinya belum bisa membuktikan secara pasti.
Selain itu, diduga keterlibatan penegak hukum terkait penerimaan biaya keamanan per alat berat yang direntang pada harga sekitar Rp25juta. Biaya itu disebut dengan bahasa uang payung, namun bahasa tersebut tergantung daerahnya.
Ada juga bahasa lain dengan menjual nama uang SDM untuk penegak hukum. Sedangkan tingkat kevalidan hal itu tentu dibutuhkan sumber dengan didukung bukti yang cukup kuat.
Kemudian yang menjadi hal aneh lainnya, kata Wengki, lokasi tambang-tambang emas ilegal itu tidak jauh dari pemukiman atau keramaian, justru lokasinya sangat dekat dari pemukiman.
Artinya, secara umum mudah bagi orang lain mengetahui, termasuk penegak hukum dan pemerintah setempat itu sendiri. Kegiatan tersebut seperti tidak kelihatan, padahal didekat keramaian.
“Ini kan jadi tanda tanya. Penilaian kita, jelas ada praktik pembiaran dari pemerintah dan penegak hukum. Sebab, pemerintah itu sendiri memiliki data soal penambangan yang berizin,” ujarnya. (*)