HARIANHALUAN.ID — Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Sumatra Barat (Sumbar), mencatat paling tidak ada sekitar delapan persen dari jumlah anak di Sumbar terlibat perkawinan di bawah umur. Jumlah ini terbilang mengkhawatirkan lantaran dinilai berimplikasi pada rendahnya tingkat ketahanan keluarga.
Kepala DP3AP2KB Sumbar, Gemala Ranti mengungkapkan bahwa ketahanan keluarga tidak hanya dibangun setelah keluarga terbentuk. Lebih dari itu, keluarga yang tangguh mesti dibangun sejak dini, sejak sebelum ikatan keluarga terbentuk.
“Ada sekitar delapan persen atau sekitar 3.000-an anak di Sumbar terlibat perkawinan di bawah umur. Perkawinan ya, bukan pernikahan. Hal ini jelas agak mengkhawatirkan,” ujarnya saat ditemui di kantornya, beberapa waktu yang lalu.
Gemala Ranti menerangkan, merujuk Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan hukum internasional, batas usia kedewasaan adalah 18 tahun. Dengan kata lain, usia 17 tahun ke bawah, sesuai pengertian UU masih digolongkan sebagai anak-anak.
Menurutnya, anak usia 17 tahun ke bawah memang belum selayaknya membangun rumah tangga dan berkeluarga. Pasalnya, mereka belum lagi dewasa dan mapan, baik secara fisik maupun psikologi.
“Anak usia 17 tahun ke bawah itu tahu apa soal membangun keluarga? Mengerti apa soal merawat anak? Bahkan dalam kesehatan pun, usia yang disarankan untuk menikah itu adalah 21 tahun. Karena pada usia itulah tubuh perempuan itu siap untuk hamil dan melahirkan. Nah, sekarang, jika tingkat perkawinan anak tinggi, maka apa yang terjadi? Tingkat perceraian meningkat, kekerasan dalam keluarga meningkat, dan seterusnya. Di situ awalnya,” kata Ranti.
Berangkat dari hal inilah, Pemerintah Provinsi Sumatra Barat (Pemprov Sumbar) berupaya menekan angka perkawinan dini di Sumbar. Upaya itu diwujudkan dalam bentuk edukasi kepada calon ibu, sebelum mereka memutuskan untuk berkeluarga. Edukasi ini penting ditanamkan sejak dini, agar ketika sesorang ingin berkeluarga, ia sudah siap, baik secara fisik maupun psikologi.
“Menikah dan berkeluarga itu kan tidak hanya soal cinta saja. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Ada tenggang rasa dan segala macamnya. Edukasi ini yang penting demi terwujudnya ketahanan keluarga,” katanya. (*)