PADANG, HALUAN – Mesin partai di daerah mulai bergerak meningkatkan popularitas sejumlah figur yang berencana maju pada kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun pengamat politik menilai, dari beberapa figur yang telah mengapung, belum satu pun yang memiliki basis suara kuat di Sumatra Barat (Sumbar).
Pengajar Ilmu Politik sekaligus Peneliti pada Spektrum Politika, Asrinaldi menilai, mulai bergeraknya mesin partai di berbagai daerah, termasuk di Sumbar, merupakan test the water atau melihat reaksi masyarakat atas figur yang akan diusung dalam Pilpres mendatang.
“Bergeraknya mesin partai ini salah satunya bisa dilihat indikatornya dari pemasangan baliho figur yang akan diusung, seperti PDI P, Golkar, Demokrat, hingga PKB. Ini bagian dari test the water. Apakah calon mereka dikenal dan diterima. Setelah ini, partai-partai akan melanjutkan dengan survei dan menyusun strategi yang akan ditempuh untuk 2024,” ujarnya kepada Haluan, Jumat (22/10).
Pemasangan baliho sejumlah figur untuk Calon Presiden (Capres) di Sumbar, seperti baliho Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, dan Puan Maharani, merupakan strategi untuk meningkatkan popularitas. Serta menjadi pertimbangan bagi partai untuk memutuskan akan mengusung atau tidak mengusung figur tersebut kelak pada bursa Pilpres.
“Baliho digunakan untuk membangun personal branding. Sebab, sejauh ini baliho efektif dalam memperkenalkan nama, wajah, dan jabatan mereka kepada masyarakat. Tetapi, saya melihat itu hanya jadi alat mengukur popularitas sebelum diambil keputusan. Kalau strategi ini tidak berhasil mendongkrak popularitas, tentu tidak jadi maju atau mungkin akan mendukung calon lain,” katanya lagi.
Asrinaldi menilai, sejumlah partai yang sudah mulai bergerak di Sumbar telah memiliki kekuatan yang cukup, seperti Partai Golkar yang lebih diuntungkan ketimbang PKB dan PDIP. Meskipun tiga partai itu memiliki keterwakilan di DPRD Sumbar, tapi Partai Golkar jauh lebih kuat karena sudah cukup mengakar di Sumbar.
Namun, sambung Asrinaldi, calon dari PDIP dan PKB atau pun Demokrat bukan berarti tidak punya kans. Sebab selain mempertimbangkan popularitas, akseptabilitas kandidat yang diusung juga menjadi pertimbangan penting.
Ada pun untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang berhasil memenangkan Pilkada di Sumbar selama tiga periode, kata Asrinaldi, masih cukup sulit untuk menentukan kandidat yang akan dipromosikan.
“Secara nasional, suara PKS hanya berkisar 7-8 persen. Umumnya PKS di beberapa Pilpres lalu hanya pendukung. Oleh karena itu, sudah benar langkah PKS untuk membuka diri mendukung atau mengusung calon di luar partai atau kader sendiri,” katanya.
Berdasarkan hasil sejumlah survei elektabiltas, kata Asrinaldi, nama Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta memiliki kans yang cukup besar untuk dipilih masyarakat Sumbar. Hal ini disebabkan karakter, sikap, dan kedekatan Anies yang cukup baik dengan warga Minang di perantauan.
Semetara itu, kata Asrinaldi, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang dua kali mendapatkan kemenangan besar di Sumbar dalam Pilpres diprediksi akan mengalami penurunan suara dukungan. Terlebih setelah bergabungnya Prabowo dan Gerindra ke koalisi pemerintahan.
“Tentu ini akan dipikirkan kembali dan dikalkulasikan lagi oleh Gerindra, termasuk soal kesehatan dan peluang memang Prabowo. Memang namanya sangat populer, namun jika dua atau tiga tahun ke depan elektabilitasnya tidak meningkat signifikan, saya menduga Prabowo akan mengambil posisi sebagai king maker,” katanya.
Terlalu Cepat
Hal yang sama juga disampaikan Direktur SBLF Riset and Consultant Edo Andrefson, bahwa bertebarannya baliho sejumlah kandidat untuk Pilpres 2024 berguna untuk meningkatkan elektabiltas. Sebab secara daerah, Sumbar bukan basis dari sejumlah kandidat yang sudah muncul, seperti Ketua Umum Partai Golkar Airlangga, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Muhaimin Iskandar, atau pun Ketua DPP PDI P Puan Maharani.
Namun, menurut Edo, pemasangan baliho untuk Capres 2024 dinilai terlalu dini dilakukan. Terlebih, saat ini masyarakat masih berjibaku dengan pandemi Covid-19 yang berdampak pada ketahanan hidup masyarakat.
“Memasang baliho terlalu cepat, sebab ini baru masuk dua tahun kepemimpinan Jokowi periode kedua. Sekaligus juga menunjukkan orang yang memasang baliho itu tidak ada sense of crisis. Kecuali baliho yang disebar memuat pesan-pesan soal pandemi, seperti ajakan mematuhi prokes dan vaksinasi. Tapi ini ada yang secara terang-terangan maju sebagai Capres,” katanya. (h/mg-rga)