Koalisi Rakyat Sumatra Barat Tolak Pelemahan KPK

PADANG, HALUAN—Massa yang mengatasnamakan diri sebagai Koalisi Rakyat Sumatra Barat mengirim surat protes kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), terkait pemberhentian 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gagal melewati tes wawasan kebangsaan (TWK). Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit dikabarkan bakal menampung 57 pegawai tersebut sebagai ASN Polri.

Pantauan Haluan di lapangan, Rabu (29/9) massa yang terdiri dari kalangan mahasiswa, akademisi, praktisi, dan aktivis di Sumbar mengawali aksi dengan longmarch dari Halaman Kampus Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang di Jalan Jenderal Sudirman, menuju Kantor POS Indonesia Cabang Padang.

“Aksi ini adalah respons Koalisi Rakyat Sumatra Barat atas indikasi pelemahan KPK secara secara sistematis dan masif, lewat pelaksanaan TWK yang berujung tidak lolos dan diberhentikannya 57 pegawai KPK. Hari ini, kami kirim surat protes untuk Presiden lewat Kantor Pos,” ucap Calvin Renanda, Koordinator Lapangan (Korlap) aksi lewat orasinya.

Berdasarkan hasil pengawasan Ombudsman RI atas pelaksanaan TWK tersebut, kata Calvin, terdapat dugaan maaladministrasi berupa penyimpangan prosedur, dan penyalahgunaan dalam proses pembentukan kebijakan. Selain itu, pelaksanaan TWK juga diduga bermuatan pelecehan seksual dan proses penetapan hasilnya tidak transparans.

Koalisi juga menilai, sambungnya, pemberhentian 57 pegawai KPK yang tidak lolos TWK tersebut telah menyalahi aturan dan cacat prosedur. Hal itu diperkuat dengan temuan Komnas HAM, yang menyatakan terdapat indikasi penyingkiran terhadap sejumlah pegawai KPK yang pernah menangani kasus tertentu.

“Komnas HAM telah memaparkan setidaknya 11 kejanggalan dalam pelaksanaan TWK itu. Di antaranya, pelanggaran terhadap hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, hak bebas dari diskriminasi etnis, hak atas rasa aman, hak atas privasi, hak atas informasi publik, dan hak kebebasan berpendapat,” ujar Calvin lagi.

Temuan Komnas HAM tersebut, sambungnya, semakin diperkuat lewat putusan Mahkamah Konstitusi No 70/PUU-XVII/2019 terkait uji materi UU No.19/2019 tentang UU KPK, yang menegaskan bahwa pengalihan status pegawai, dengan alasan apapun tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK untuk diangkat sebagai ASN.

“Temuan Komnas HAM dan Ombudsman RI tersebut harusnya sudah jadi alasan yang cukup kuat bagi Presiden untuk membatalkan hasil TWK itu, dan segera mengangkat 57 pegawai KPK itu sebagai ASN,” ujarnya.

Senada dengan Calvin, Bayu Fadli Dermawan selaku Presiden Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand) dalam orasinya menyampaikan, diduga pelaksanaanTWK adalah bentuk upaya pembusukan lembaga dari dalam institusi KPK. Untuk itu, koalisi meminta agar Presiden membatalkan hasil TWK yang bermasalah tersebut.

“Atas nama rakyat Sumatra Barat, kami meminta Presiden membatalkan pemberhentian 57 pegawai KPK yang tidak lolos TWK, dan melaksanakan rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM sebagai tindakan korektif, untuk mengangkat pegawai KPK yang diberhentikan tersebut,” ucap Bayu.

Selain itu, sambungnya, koalisi juga menyorot sejumlah kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat yang berasal dari partai penguasa. Menurutnya, upaya pelemahan KPK berkaitan erat dengan tidak adanya komitmen Presiden Jokowi untuk memberantas korupsi.

“Saat masih banyak kasus korupsi yang belum terbongkar, Presiden seperti melakukan pembiaran dengan sikap diamnya. Kita masih ingat dengan kasus korupsi bansos Juliari Batubara. Jika tak ingin dikatakan melindungi koruptor, Jokowi harus bertindak membatalkan pemecatan 57 pegawai KPK itu,” ucapnya lagi.

Terkait dengan masuknya surat permintaan dari Kapolri kepada Presiden Jokowi, untuk menarik pegawai KPK yang dipecat ke institusi Polri, Bayu menilai hal tersebut telah membuktikan bahwa pegawai yang diberhentikan itu merupakan orang-orang yang berintegritas dalam pemberantasan korupsi.

“Wacana penatikan pegawai yang dipecat itu ke institusi Polri hanya menambah kecurigaan kami, bahwa pegawai-pegawai berintegritas itu hanya sedang dijauhkan dari upaya pembongkaran kasus-kasus korupsi,” tutur Bayu.

Ditarik ke Polri

Sebelumnya dikabarkan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit menyatakan keinginan untuk menarik semua pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lulus TWK tersebut sebagai ASN Polri, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Penarikan ini diklaim sebagai bentuk kebutuhan Polri untuk pengembangan tugas-tugas.

Novel sendiri diketahui merupakan mantan anggota Polri aktif dengan pangkat terakhir Komisaris Polisi (Kompol). Ia mulai ditugaskan sebagai penyidik KPK pada 2009 dan resmi diangkat sebagai penyidik tetap KPK pada 2014. “Semuanya sama, ingin ditarik ke Polri termasuk Novel Baswedan,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono, Selasa (28/9).

Namun demikian, Argo belum dapat menuturkan lebih lanjut mengenai mekanisme ataupun proses perpindahan pegawai antar institusi tersebut. Ia mengatakan bahwa aturan tersebut masih akan digodok dan dikoordinasikan dengan institusi terkait. “Kami menggandeng BKN dan Kemenpan RB. Tunggu saja, nanti disampaikan,” ucap Argo.

Sebagai informasi, Listyo berencana menarik 56 pegawai KPK yang tak lulus untuk memperkuat Korps Bhayangkara. Dalam hal ini, Listyo menjelaskan bahwa ada tugas-tugas tambahan di Korps Bhayangkara terkait dengan upaya pencegahan dan mengawal program penanggulangan Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Oleh sebab itu, ia pun telah menyurati Presiden untuk dapat menyetujui usulan penarikan pegawai tersebut. Ia menjelaskan, pegawai KPK yang tak lulus dapat menjadi ASN di Polri. Listyo mendapat surat balasan dari Istana pada 27 September 2021 kemarin melalui Menteri Sekretaris Negara, Pratikno.

“Berkirim surat kepada Pak Presiden untuk memenuhi kebutuhan organisasi Polri terkait pengembangan tugas-tugas di Bareskrim Polri, khususnya Dittipidkor (Direktorat Tindak Pidana Korupsi). Prinsipnya, beliau setuju,” kata Listyo dalam rekaman konferensi pers yang diterima CNNIndonesia.com dari Divisi Humas Polri, Selasa (28/9). (h/mg-fzi)

Exit mobile version