Oleh: Putri Yona
Menjelang siang hari, kawanan maskot berkostum adat itu serentak mencari tempat yang lebih teduh. Rabu (27/10) siang itu, langit di Kompleks Istano Basa Pagaruyuang menyemburkan hawa panas menyengat. Keringat akan mengucur deras bila terus bertahan di area terbuka sekitar kawasan cagar budaya itu.
Setelah berteduh, bagian kepala maskot itu dicopot. Satu per satu wajah di balik kostum raksasa itu pun terlihat jerih, haus, dan sedikit pucat. Namun, satu hal yang cukup mengagetkan, tiga orang di balik maskot itu ternyata perempuan paruh baya, yang wajahnya agak memerah dan sedikit basah oleh peluh.
Kepada Haluan, kawanan maskot itu tengah rehat sambil menunggu para pelancong datang dan mengajak untuk berfoto. Bila Istano Pagaruyuang ramai didatangi wisatawan, para maskot itu akan digandrungi. Namun, sejak pandemi Covid-19 terjadi, Istano Pagarayuang yang sepi pengunjung sangat berpengaruh pada pekerjaan sebagai maskot.
Salah seorang pemakai kostum maskot itu, Ramanis (51), mengatakan bahwa jumlah wisatawan yang datang ke Istano Pagaruyuang masih belum ramai meski PPKM sudah beralih dari level IV. Terlebih pada hari-hari biasa selain akhir pekan.
“Bahkan Istano sempat ditutup karena pandemi, dan kami harus berhenti mencari nafkah di sini,” ujar Ramanis kepada Haluan, Rabu (27/10).
Ramanis dan belasan warga setempat lainnya memang menggantungkan hidup dari aktivitas sebagai maskot di kawasan Istano Pagaruyuang. Ada yang menggunakan kostum adat, dan ada juga yang memakai kostum tokoh-tokoh kartun yang biasa digilai anak-anak. Biasanya, para pengujung akan memberikan uang Rp5.000 hingga Rp10.000 untuk satu kali sesi berfoto dengan maskot-maskot itu.
“Diberi suka rela pun tak apa-apa. Kadang ada yang kasih lima ribu, kadang ada yang ngasih sepuluh ribu,” kata Ramanis lagi.
Ibu lima anak itu mengaku hampir setiap hari ke Istano Pagaruyuang untuk menjalani profesi yang hampir mirip profesi menjadi badut itu. Pada pagi hari, ia sudah berangkat dari rumah menuju tempat penyewaan maskot yang tidak berada jauh dari Istano. Lalu, sekitar pukul 10.00 WIB Ramanis mulai berkeliling mencari pengunjung untuk diajak berfoto.
Menurut Ramanis, berat maskot kostum baju adat dengan tingkuluak corak merah yang ia kenakan mencapai tiga kilogram, sehingga ia harus senantiasa menahan beban di badan setiap kali berusaha mendapatkan pelanggan untuk diajak berfoto. Belum lagi, hawa panas di dalam kostum itu juga harus ditahan selama ia memakainya.
Bagi Ramanis, menjalani profesi sebagai pemakai kostum maskot adalah pilihan terbaik saat ini untuk menambah penghasilan suaminya yang bekerja sebagai pemotong karet. Terlebih, anak kedua Ramanis tengah sakit dan dirawat di Kota Padang, dengan kebutuhan biaya perawatan rutin setiap bulan. Selain itu, tiga anaknya juga tengah menempuh pendidikan.
“Suami saya bekerja di ladang sebagai pemotong karet. Kadang menawarkan jasa memanen sawah orang. Ini belum cukup untuk memenuhi biaya keluarga dan untuk anak sekolah. Saya memang canggung saat awal-awal bekerja sebagai maskot. Namun, demi kebutuhan hidup, ini terpaksa harus ditekuni,” tutur Ramanis lagi.
Hal senada juga disampaikan pemakai kostum maskot lainnya, Marsida (50), bahwa kondisi perekonomian adalah alasan utama yang mendorongnya menjalani profesi seperti badut tersebut. Marsida sendiri bahkan sudah melakoni pekerjaan menjadi maskot sejak empat tahun yang lalu.
“Motivasi saya bertahan sebagai maskot karena tidak ada pekerjaan yang lain. Kalau bekerja menggembala sapi, itu harus menunggu lama untuk bisa mendapatkan hasil. Kalau mengelola sawah, juga harus menunggu sampai waktu panen. Bekerja seperti ini, memakai kostum ini, bisa mendapatkan penghasilan setiap hari untuk kebutuhan sehari-hari,” ujarnya.
Marsida mengaku tetap bersyukur masih bisa bekerja sebagai maskot, meski sejak pandemi jumlah pengunjung yang datang ke Istano Basa Pagaruyuang sangat berkurang. Bahkan saat keadaan lengang, ia terkadang hanya membawa uang Rp15 ribu ke rumah.
“Menjadi maskot itu gampang-gampang susah, sebab pendapatannya tidak pasti. Kadang ketika sepi sekali, pernah hanya Rp15 ribu sehari,” kata Marsida lagi.
Meski demikian, Marsida mengaku tetap harus lihai menemukan pengunjung yang bersedia diajak berfoto. Selain itu, di Kompleks Istano sendiri setidaknya ada 20 orang yang menggeluti profesi sebagai maskot.
Beberapa waktu lalu, baik Marsida mau pun Ramanis terpaksa mencari pekerjaan lain selama Istano Pagaruyuang ditutup karena penerapan PPKM. Ramanis memilih ikut bersama suaminya, membantu orang memanen di sawah, sedangkan Marsida sempat berkeliling menawarkan jasa setrika baju dari rumah ke rumah.
Namun sejak status PPKM dicabut dan Istano Pagaruyuang kembali dibuka untuk umum, para pemakai kostum maskot itu kembali berburu wisatawan untuk diajak berfoto. Marsida sendiri berharap agar pandemi segera berakhir dan kegiatan wisata kembali normal. Ia kerap membayangkan, kunjungan wisatawan ke Istano Pagaruyuang kembali ramai saat momen Lebaran, karena pada saat itulah ia berpeluang mendapatkan penghasilan yang lebih banyak. (*)