PADANG, HARIANHALUAN.ID — Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Andalas (UNAND), Dr. Aidinil Zetra, MA menilai, agenda transfer kebijakan atau policy transfer berbalut kegiatan studi tiru, studi banding atau benchmarking, merupakan salah satu program yang lazim dilaksanakan berbagai lembaga pemerintahan tanah air.
Namun pada prakteknya, agenda yang sering dilaksanakan guna mempelajari kebijakan yang berjalan di suatu tempat dan akan diadopsi di tempat lain ini pun, belum benar-benar terbukti efektif dalam melahirkan suatu kebijakan yang tepat bagi masyarakat dan daerah.
“Persoalannya transfer kebijakan atau policy transfer melalui studi tiru ini, tidak efektif untuk menyusun kebijakan, sebab studi tiru butuh biaya dan energi besar. Apalagi sampai meninggalkan pekerjaan pelayanan kepada masyarakat, “ ujarnya kepada Haluan Selasa (11/7) kemarin.
Aidinil Zetra menyebut, metode transfer kebijakan lewat agenda studi tiru maupun istilah lainnya, sejatinya telah ketinggalan zaman di tengah era perkembangan teknologi komunikasi yang sudah semakin berkembang seperti saat ini.
Sebab menurut dia, jika memang tujuannya hanyalah untuk mempelajari kebijakan di daerah lain, hal itu bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai alat komunikasi seperti misalnya zoom meeting dan lain sebagainya.
“Jadi, jika ingin mempelajari yang baik dari daerah lain, tidak harus ke sana (Makassar, red). Ini sering tidak disadari. Sehingga kemudian mereka berbondong-bondong dengan anggaran besar pergi ke daerah lain tanpa memberikan dampak positif,” ucapnya.
Akibat dari telah terlanjur menjadi tradisinya pelaksanaan transfer policy yang pasti memakan biaya besar ini, sebut Aidinil, pada akhirnya produk kebijakan yang dilahirkan kerap tidak cocok dengan kondisi serta kebutuhan riil masyarakat di daerah.
Sebab bagaimanapun kata dia, setiap kebijakan yang dilahirkan mesti berorientasi terhadap penyelesaian akar permasalahan publik yang notabene pasti berbeda-beda dalam segi sosial, ekonomi, budaya maupun politik setiap daerah
“Apalagi selama ini masing-masing daerah mengalami persoalan yang berbeda. Untuk itu kebijakan mesti sesuai situasi ekonomi, sosial budaya dan politik, kekeliruan ini sering menyebabkan kegagalan kebijakan. Karena prosesnya saja sudah ditempuh dengan cara yang salah,” pungkasnya mengakhiri. (h/fzi)