PADANG, HALUAN – Pemerintah daerah (Pemda) di Sumatra Barat (Sumbar) perlu memperkuat pengawasan internal dalam proses pembebasan lahan untuk pembangunan Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS). Terutama sekali untuk menutup celah potensi korupsi setelah terungkapnya dugaan penggelapan uang ganti rugi lahan di Padang Pariaman yang merugikan negara hingga Rp27 miliar.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Andalas (Unand), Aidinil Zetra kepada Haluan mengatakan, masalah paling mendasar dalam pengadaan lahan untuk pembangunan adalah terbukanya peluang terjadinya korupsi, seperti penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum.
“Pola perilaku koruptif dalam pengadaan lahan pembangunan memang lazimnya melibatkan sejumlah aktor, seperti oknum di pemerintahan, makelar tanah, dan masyarakat sebagai penerima ganti rugi lahan. Nah, di sinilah rawan terjadinya korupsi karena dalam proyek pembangunan sistem pengendalian internnya, yaitu organisasi, perencanaan, kebijakan, dan review intern yang masih lemah,” kata Aidinil kepada Haluan, Senin (1/11).
Aidinil menyebutkan, Pemda harus memperkuat sistem pengawasan intern, khususnya kapasitas dan kapabilitas Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Terutama dalam memperkuat sistem pengawasan internal untuk lebih independen, dan profesional menerapkan prinsip transparansi serta akutabilitas.
“Dengan demikian, diharapkan sistem pengawasan menjadi lebih efektif. Perbaikan sistem pengawasan intern ini harus dilakukan mulai dari proses audit, review, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan di lapangan terhadap penyelenggaraan pembangunan di Sumbar,” ujarnya lagi.
Di samping itu, sambung Aidinil, pemerintah juga harus membuka ruang yang luas bagi masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan proyek pembangunan, guna mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Termasuk dengan memberikan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat yang ikut berperan dalam mengawasi proyek tersebut.
“Kasus pengadaan lahan Tol Padang-Pekanbaru ini menambah daftar panjang masalah pengadaan lahan yang tidak boleh dianggap sepele. Karena kendala dalam pembangunan itu adanya potensi penyelewengan kewenangan atau bahkan korupsi,” katanya.
Transparansi Harga Mati
Hal yang sama juga disampaikan perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Sumbar, Charles Simabura, bahwa transparansi dan akuntabilitas harus dikedepankan dalam pelaksanaan proyek-proyek pemeritah. Termasuk dalam pembebasan lahan dan pembangunan jalan tol di Sumbar.
Charles menduga, terdapat praktik-praktik mafia tanah dalam kasus penggelapan uang ganti rugi di lahan tol JTTS yang berlokasi di kawasan Taman Kehati, Kabupaten Padang Pariaman, yang sejauh ini telah menjerat 13 tersangka. Ia pun mendesak, agar kasus penggelapan tersebut diungkap sampai tuntas.
“Mengingat adanya dugaan mafia tanah yang bermain dalam ganti rugi yang mengakibatkan terkendalanya pembangunan Tol Padang-Sicincin, maka perkara dugaan korupsi ganti rugi lahan ini harus diungkap dan dibuka seluas-luasnya,” katanya, Senin (1/11).
Menurut Charles, terungkapnya kasus penggelapan uang ganti rugi tersebut membuktikan bahwa terhambatnya proses pembebasan lahan yang terjadi selama ini bukan karena sikap keengganan masyarakat. Namun, banyak oknum yang bermain dan mencari untung dalam proses ganti rugi lahan.
“Selama ini dinilai masyarakat jadi penghambat, ternyata tidak. Yang ada, beberapa oknum bermain dalam ganti rugi. Kami (koalisi masyarakat.red) mengapresiasi kejaksaan dan mendorong agar mengusut sampai tuntas termasuk menelusuri lebih jauh faktor penyebab macetnya pembebasan lahan tol,” katanya menutup.
Sebelumnya Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar menetapakn 13 tersangka dalam kasus dugaan penggelapan uang ganti rugi pembebasan lahan pembangunan jalan tol di Kawasan Taman Kehati Padang Pariaman, yang merupakan aset pemerintah daerah.
Para tersangka yang dijerat antara lain YW, berlatar belakang aparatur pada Pemkab Padang Pariaman. SS dan SA selaku perangkat pemerintahan nagari Parit Malintang. Tersangka J, RN, US selaku Anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kemudian, BK, NR, SP, KD, AH, SY, dan RF, selaku masyarakat yang diduga mendapatkan uang ganti rugi.
Hasil pemeriksaan sementara Kejati mencatat, bahwa dugaan kerugian negara atas penggelapan uang ganti rugi tersebut mencapai Rp27,85 miliar. Namun, Kejati Sumbar juga telah menyerahkan penghitungan riil kerugian negara dalam kasus itu kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumbar.
Kerugian negara Rp27,85 miliar itu muncul karena diduga uang pembayaran ganti rugi lahan tol yang telah digelontorkan oleh negara, diklaim secara melawan hukum oleh pihak yang tidak berhak sebagai penerima ganti rugi. (h/mg-rga)