Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai upaya juga telah dilakukan PLN, di antaranya PLN menghapus rencana pembangunan 13,3 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sebelumnya masuk ke dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), membatalkan 1,3 GW PLTU yang sudah menandatangani kontrak jual beli tenaga listrik, mengganti 1,1 GW PLTU dengan EBT, mengganti 800 megawatt (MW) PLTU dengan gas, hingga bersama pemerintah mengeluarkan RUPTL paling hijau sepanjang sejarah dengan rencana pembangunan EBT sebesar 51,6 persen atau 21 GW.
PLN juga telah merancang skenario transisi energi di Indonesia melalui Accelerated Renewable Energy Development untuk mengatasi missmatch antara lokasi episentrum EBT yang jauh dari pusat ekonomi dan industri. PLN membangun green enabling smart grid yang dilengkapi dengan smartgrid dan flexible generations.
“Skenario ini akan mengakselerasi penambahan pembangkit energi terbarukan hingga 75 persen dengan tetap menjaga keandalan sistem, serta meningkatkan kapasitas pembangkit EBT dari sebelumnya 22 GW (business as usual) menjadi 60 GW pada 2040,” jelas Darmawan.
Dalam menjalankan program besar transisi ini, Darmawan mengakui PLN tidak bisa berjalan sendirian. Sehingga, PLN dengan serius memetakan potensi kolaborasi dan sinergi bersama BUMN serta perusahaan lain di berbagai value chain untuk menyukseskan program transisi energi yang telah dirancang.
Karena itu, Darmawan mengatakan PLN telah dan terus melakukan berbagai upaya percepatan di tengah adanya tantangan transisi energi. Salah satu upaya dilakukan bersama Pertamina melalui pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan pembangunan pembangkit EBT di kilang-kilang pertamina.
Selain itu PLN dengan ASDP Indonesia Ferry dan Pelindo juga mengembangkan Green Port. Melalui program ini, PLN dapat membangun anjungan listrik di pelabuhan untuk menggeser penggunaan diesel BBM ke listrik dalam memenuhi kebutuhan listrik kapal saat sandar.