“Mobilitas sosial warga negara biasa untuk menjadi elite tertutup oleh politik dinasti. Selain disebabkan oleh kuatnya watak partai yang oligarkis, politik dinasti juga dipicu oleh kegagalan rekrutmen dan kaderisasi partai politik,” jelasnya.
Kondisi itu, pada akhirnya menyebabkan partai politik akhirnya lebih memilih memajukan orang-orang yang berada di dekat lingkaran keluarga elite parpol untuk diusung dibandingkan dengan para kader yang dinilai berasal dari kalangan biasa dan tidak punya modal politik cukup besar.
Ekses negatif politik dinasti lainnya, sambung Asrinaldi, adalah tidak berjalannya mekanisme check and balance antara eksekutif dan legislatif. Apalagi di sejumlah daerah, kadang ditemukan adanya fenomena sang bapak menjadi Bupati, dan sang anak menjadi ketua DPRD.
Kondisi seperti ini, rawan memunculkan kebijakan-kebijakan yang tidak lagi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Khususnya pada kebijakan-kebijakan dan peraturan daerah tertentu yang membutuhkan pendalaman antara eksekutif dan legislatif.
“Nah kebijakan seperti inilah yang sangat kita khawatirkan muncul dari terus langgengnya politik dinasti. Sebab pada intinya, demokrasi memberikan kesempatan dan ruang yang sama bagi warga negara untuk berkompetisi. Akan sangat berbahaya jika politik justru dikuasai oleh segelintir keluarga tertentu saja,” pungkas dia mengakhiri. (h/fzi)