PADANG, HALUAN — Masjid tak hanya memiliki fungsi sebagai rumah ibadah semata. Lebih dari itu, masjid juga memiliki fungsi vital dalam pemberdayaan umat dan pengembangan ekonomi syariah. Di Sumbar, sayangnya, belum banyak masjid yang memaksimalkan fungsi ini.
Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Sumatra Barat, Prof Duski Samad mengatakan, saat ini di Sumbar terdapat 5.092 masjid dan 10. 929 musala. Namum, belum banyak masjid atau musala yang menerapkan ekonomi syariah dan memberdayakan masyarakat melalui dana umat.
“Hampir 16 ribu jumlahnya, tapi sangat sedikit masjid yang melakukan pemberdayaan umat atau masyarakat sekitar dengan dana umat yang dikelola masjid. Bahkan masih ada yang memperdebatkan soal pengelolaan dan fungsi masjid dalam perekonomian,” katanya kepada Haluan, Kamis (4/11).
Oleh sebab itu, ke depan, DMI akan fokus pada program Masjid Makmur dan Memakmurkan. Jika berbicara soal masjid makmur, menurutnya hampir semua masjid secara fisik sudah makmur. Selanjutnya adalah bagaimana menjadikan masjid bisa berperan dalam memakmurkan lingkungan di sekitar.
“Kami sudah menyampaikan kepada seluruh pengurus masjid lewat berbagai pertemuan tentang pentingnya memakmurkan sekitar dalam pengelolaan dana umat. Terlebih hari ini lembaga atau institusi yang paling tinggi tingkat kenyamanan sosial dan kepercayaannya adalah masjid,” kata Duski.
Masjid-masjid di Pulau Jawa, katanya, sejak lama sudah bergerak dalam melakukan hal tersebut. Pengurus masjid, pada dasarnya tidak hanya mengurus fisik masjid semata, melainkan juga mengurus jemaah masjid, baik itu jemaah yang beribadah di masjid maupun yang hidup di sekitar masjid.
“Ini perlu ditekankan. Jemaah itu bukan hanya mereka yang beribadah di masjid saja. Bagaimanapun, semua orang pada akhirnya akan dibawa ke masjid. Paling tidak saat meninggal, mereka akan dibawa terlebih dahulu ke masjid untuk disalatkan. Jadi, tidak ada orang yang muslim itu tidak ke masjid. Pada dasarnya semua muslim di sekitar masjid adalah jemaah masjid,” katanya.
Ia menjelaskan, secara regulasi atau aturan perundangan-undangan, memang belum ada yang mengatur secara rinci tentang pengelolaan dana umat di masjid atau musala. Akan tetapi, di dalam Al-Qur’an, sudah dijelaskan terkait pengelolaan dana umat atau pemberdayaan umat.
“Regulasi yang dibuat manusia dalam pengelolaan itu belum ada. Tapi, dalam Surat At-Taubah ayat 18 dijelaskan bahwa pengurus masjid adalah orang yang mengurus orang beriman dan zakat. Nah, saat berbicara zakat, tentu juga berbicara soal dana umat. Dari segi norma agama itu ada, tapi dari segi regulasi belum ada yang mengatur. Sebab masjid secara subtansi kewenangannya terletak di komunitas atau yayasan,” katanya.
Ia menyebut, setidaknya di Sumbar, terdapat empat jenis masjid, yaitu masjid masyarakat atau komunitas, masjid yang didirikan negara, masjid nagari, dan masjid yang didirikan sebuah institusi.
“Jadi, pegelolaan dana umat di masjid diserahkan kepada masing-masing pengurus atau yang menaungi masjid tersebut,” katanya.
Terpisah, Pakar Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Ahmad Wira mengatakan, dengan banyaknya jumlah masjid dan musala di Sumbar membuat pemberdayaan ekonomi berbasis masjid sangat potensial dikembangkan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar masjid.
“Dari beberapa riset dan peninjauan langsung saya ke lapangan, di Kabupaten Solok saya menemukan bahwa pengembangan lembaga keuangan berbasis masjid ini sangat bisa dilakukan dan dapat diterima oleh pengurus dan masyarakat sekitar. Sebab masyarakat di sekitar masjid diberikan bantuan atau pinjaman pembiayaan dengan sistem qardhul hasan (tanpa bunga),” katanya.
Selain memberikan bantuan pembiayaan usaha agar masyarakat sekitat terlepas dari jeratan rentenir, kata Wira, masjid juga bisa mengembangkan lingkungan atau pekarangan masjid agar bisa produktif. Seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa masjid, di mana lantai dua dijadikan sebagai tempat ibadah, sementara lantai dasar digunakan untuk toko atau pusat bisnis.
“Hal ini sudah dilakukan oleh Masjid Muhammadiyah Padang Panjang. Jadi, pemberdayaan ekonomi berbasis masjid ini, selain bisa menghindarkan masyarakat sekitar terlepas dari rentenir dengan pinjaman tanpa bunga tadi, juga bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan lewat toko-toko atau lapak di sekitar masjid dan ini semua bermuara kepada satu tujuan, yaitu pengentasan kemiskinan di sekitar masjid,” katanya.
Menurut Wira, penyebab banyaknya masjid atau musala di Sumbar belum melakukan perananan dalam pemberdayaan masyarakat lewat dana umat yang telah dihimpun disebabkan beberapa hal. Salah satu adalah masyarakat dan pengurus masjid yang masih belum memahami bahwa fungsi masjid bukan untuk ibadah semata.
“Selain itu, karena juga belum ada tim yang dibentuk pengurus masjid yang fokus dalam pemberdayaan masyarakat. Masyarakat masih banyak memahami bahwa masjid itu fungsinya hanya untuk ibadah. Padahal, yang dilarang adalah berjualan di dalam masjid, sementara membuat bisnis, usaha, atau berjualan di lingkungan masjid itu tidak ada larangan sama sekali. Oleh karena itu, diperlukan peran dari dai atau penceramah agar makna fungsi masjid ini bisa dipahami dan diperluas maknanya oleh masyarakat,” katanya.
Saat akan melakukan pemberdayaan masyarakat lewat dana umat, ia menambahkan, masjid harus mengawali dengan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sekitar masjid. Hal ini bisa dipenuhi dengan dana zakat yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
“Sedangkan dana infak bisa digunakan untuk membangkitkan atau membantu pembiayaan usaha masyarakat dengan pinjaman tanpa bunga. Ini hikmah dari menempatkan masing-masing istilah dana yang dikelola masjd. Jika dananya dalam bentuk infak, maka berpeluang untuk dimanfaatkan lebih luas. Sementara dana zakat sudah diatur peruntukkannya,” katanya. (h/mg-rga)