Selamatkan Sumbar-Riau Dari Krisis Air dan Energi Listrik, Rehabilitasi DAS Harga Mati

Panoramic view of the Itaipu Hydroelectric power plant, and its huge water dam.

PADANG, HARIANHALUAN.ID–Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI) Sumatra Barat menyebutkan, ada sejumlah opsi penganggaran yang bisa digunakan pemerintah daerah untuk memulihkan kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang telah terlanjur rusak.

Dewan Pakar Pengurus Pusat (PP) MKTI Sumbar, Prof Bujang Rusman mengatakan, sumber keuangan itu diantaranya adalah dana Imbas Jasa Lingkungan (IJL), Pajak Air Permukaan, hingga dana hasil perdagangan karbon.

“Sesuai aturan perundang-undangan berlaku, semua pendanaan alternatif itu bisa digunakan untuk memulihkan kondisi ekosistem lingkungan DAS yang telah terdergradasi parah,” ujarnya kepada Haluan.

Bujang Rusman menjelaskan , Pajak Air Permukaan adalah kewajiban yang dikenakan bagi seluruh perusahaan dan korporasi yang telah menikmati ketersediaan manfaat dari ketersediaan sumber daya air

Sementara IJL atau Payment for Ecosystem Services, serta perdagangan karbon, adalah instrumen berbasiskan pasar untuk tujuan konservasi yang berprinsipkan semua pihak yang mendapatkan manfaat dari jasa lingkungan, harus membayar kompensasi kepada negara demi keberlanjutan penyediaan jasa lingkungan

“Selama ini dana yang seharusnya masuk ke keranjang APBD ini sudah tidak jelas lagiperuntukannya. Padahal seharusnya dana itu 100 persen harus dikembalikan dn digunakan sepenuhnya untuk konservasi daerah hulu DAS,” tegasnya.

Bujang menegaskan, isu krisis dan defisit air yang terjadi di Empat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Sumatra Barat, merupakan isu klasik yang selalu menghantui Sumbar dan Provinsi tetangga setiap kali memasuki musim kemarau Panjang.

Namun sayangnya, isu krisis air penggerak turbin PLTA yang dipicu kerusakan lingkungan di bagian hulu sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) besar di Sumbar itu,sampai saat ini tidak pernah dijadikan perhatian serius oleh pemerintah daerah.

“Isu defisit Air PLTA sebenarnya adalah isu klasik. Selama ini pemerintah tidak peduli dan hanya baru akan ribut jika defisit air sudah terjadi dan menyebabkan terjadinya pemadaman listrik bergilir setiap kali terjadi musim kemarau panjang,” Ucapnya.

Dia bilang, satu-satunya, solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis atau defisit air di empat PLTA yang ada di Sumbar, adalah dengan memulihkan ekosistem lingkungan di daerah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS).

Sebab pada kenyataannya, rata-rata DAS penting krusial yang berpengaruh terhadap siklus hidrologis serta ketersediaan supply air di Empat PLTA yang ada di Sumbar ini, telah mengalami degradasi lingkungan yang sedemikian parahnya lantaran terjadinya alih fungsi lahan yang massif tanpa memperhatikan kaedah konservasi lingkungan.

“Kerusakan lingkungan sebenarnya tidak hanya terjadi di DAS Kampar, namun juga terjadi di DAS Sumani yang berhulu di daerah Solok. Disana daerah yang semestinya menjadi areal tangkapan dan resapan air sudah berubah menjadi kawasan pertanian bawang dan sebagainya,” jelasnya.

Kondisi itu, semakin diperparah dengan mulai dibukanya kawasan hutan konservasi atau lindung untuk dijadikan sebagai lokasi wisata dan sebagainya. Padahal sesuai aturan berlaku, telah jelas dan tegas dibunyikan bahwa hutan lindung adalah areal terlarang yang tidak boleh diganggu.

“Saya pernah melakukan penelitian di PLTA Singkarak yang dialiri 13 anak sungai mulai dari Padang Panjang, hingga DAS Sumani. Pada musim kering, 10 sungai di daerah itu kering. Hanya tiga sungai yang masih mengalir. Penyebabnya adalah kerusakan daerah hulu yang telah mengalami degradasi sejak lama,”jelas Bujang Rusman.

Ia membeberkan , dampak kerusakan kawasan hulu DAS Sumani yang menjadi sumber air penggerak turbin PLTA Singkarak, bahkan telah bisa dirasakan secara nyata.

Dimana saat ini, PLTA Singkarak justru sangat tergantung kepada air hujan untuk menggerakkan turbin-turbin pembangkit listriknya. Kondisi ini menggambarkan sudah sedemikian parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi.

Bujang Rusman menyerukan semua pihak bergandengan tangan menyelamatkan bagian hulu daerah aliran sungai utama yang ada di Sumbar. Langkah ini penting untuk menjaga ketahanan energi listrik Sumbar dan Provinsi tetangga dimasa yang akan datang.

“Pada poinnya dana-dana itu mesti dikelola dengan transparan dan bertanggung jawab sepenuhnya untuk kepentingan konservasi. Jangan sampai kita selalu bicara Good Governance tapi buktinya tidak ada,” tutupnya. (*)

Exit mobile version