PADANG, HARIANHALUAN.ID – Bencana banjir dan longsor yang hampir setiap tahun melanda Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) ternyata tidak semata-mata disebabkan oleh faktor iklim dan tingginya curah hujan semata, bahkan lebih dari itu. Bencana banjir dan longsor yang terus terjadi serta telah menimbulkan kerugian luar biasa bagi masyarakat dan perekonomian daerah, disebabkan terjadinya alih fungsi lahan di gugusan pegunungan Bukit Barisan.
“Apabila hutan alami pegunungan Bukit Barisan masih terjaga dengan baik, sekalipun tingkat curah hujan yang mencapai 100-200 mm per jam seperti yang terjadi di hulu DAS Batang Maek saat ini, maka seharusnya aliran permukaan air hanya mencapai 20 persen saja. Sementara 80 persen sisanya masuk ke dalam profil tanah melalui proses infiltrasi,” ujar Dewan Pakar Pengurus Pusat (PP) Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI), Prof Bujang Rusman, kepada Haluan Selasa (26/12) di Padang.
Sedangkan apabila kawasan hutan di pegunungan Bukit Barisan telah hilang atau mengalami alih fungsi lahan, maka nilai koefisien aliran permukaan air di daerah itu menurutnya, bisa berubah dan mencapai angka 0,80.
“Artinya 80 persen dari curah hujan yang diterima kawasan hulu akan mengalir sebagai aliran permukaan di sungai Batang Maek. Nah, inilah yang menimbulkan bencana hidrometeorologis berupa banjir dan longsor di kawasan hilir atau daerah Pangkalan sekarang,” katanya.
Bujang Rusman mengatakan, kawasan hutan yang berada di bagian hulu sungai Batang Maek, sejatinya merupakan kawasan konservasi air atau daerah resapan air. Namun sayangnya, kawasan hutan di daerah tersebut saat ini sudah mengalami deforestasi serta telah beralih fungsi menjadi ladang Gambir.
Atas dasar itu, menurutnya, pemerintah daerah setempat harus mulai melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang pernah dilakukan di kawasan itu.