PADANG, HARIANHALUAN.ID – PTUN Jakarta telah mengabulkan untuk seluruhnya gugatan Irman Gusman melawan KPU yang telah mencoret namanya dari Daftar Calon Tetap (DCT) untuk pemilihan Anggota DPD RI Dapil Sumatera Barat, sebagaimana isi putusan PTUN No. 600/G/2023/PTUN-JKT.
Putusan PTUN dimaksud juga menegaskan bahwa Keputusan KPU Nomor 1563/2023 tentang DCT untuk pemilihan Anggota DPD Sumatera Barat yang tidak mencantumkan nama Irman Gusman itu dinyatakan batal. Putusan PTUN dimaksud juga memerintahkan kepada KPU untuk mencabut Keputusan KPU Nomor 1563/2023 tersebut pada Lampiran III yang tidak terdapat nama Irman Gusman.
Kemudian PTUN memerintahkan kepada KPU untuk menerbitkan Keputusan tentang Penetapan Irman Gusman sebagai Calon Tetap Anggota DPD Sumatera Barat untuk Pemilu 2024. Sesuai Pasal 471 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilhan Umum, keputusan PTUN seperti itu bersifat final dan mengikat, dan wajib dilaksanakan oleh KPU paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan PTUN itu dibacakan di persidangan.
Putusan PTUN dimaksud juga menegaskan bahwa Keputusan KPU Nomor 1563/2023 tentang DCT untuk pemilihan Anggota DPD Sumatera Barat yang tidak mencantumkan nama Irman Gusman itu dinyatakan batal. Lalu apa konsekuensi jika KPU terus melaksanakan proses Pemilu anggota DPD Dapil Sumbar?
Pakar Hukum Universitas Andalas (UNAND), Prof. Dr. Busyra Azheri, S.H., M.Hum, menyebut sebagian besar surat suara sudah dicetak oleh KPU. Jika, surat suara tersebut dicetak tanpa ada nama Irman Gusman maka secara hukum KPU sudah melanggar Undang-Undang yang merugikan negara.
“Konsekuensinya, KPU bisa diancam dengan dugaan korupsi jika mencetak sesuatu yang belum boleh dicetak. Karena pada dasarnya, SK KPU yang menetapkan mencoret Irman Gusman dalam DCT sudah dibatalkan oleh PTUN, dan PTUN memerintahkan untuk menerbitkan SK baru yang mencantumkan nama Irman Gusman,” ujarnya kepada Haluan Senin (15/1) di Padang.
Menurutnya, jika merujuk kepada putusan PTUN yang tidak dilaksanakan oleh KPU dan perintah eksekusi dari Bawaslu juga tidak diindahkan oleh KPU, hingga apabila proses pemilihan tetap berjalan sampai pada proses penghitungan suara, maka akan terjadi cacat hukum. Jika hal tersebut digugat ke MK, maka pemilu berpotensi dibatalkan dan diulang kembali.
“Begitu banyak hal yang harus diperhatikan oleh KPU. Namun, sayangnya KPU tidak menyadari atau tidak mau melaksanakan putusan tersebut. Jika tidak mau, tentu harus dibangun dengan argumentasi hukum yang jelas. Sampai hari ini tidak ada argumentasi hukum apa yang dijadikan dasar oleh KPU selain merujuk pada putusan MK,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas (FH Unand) periode 2018–2022.
Ia menyebutkan, MK sendiri tegas dalam putusannya bahwa ada beberapa hal yang perlu dicermati dengan baik oleh KPU, dimana dalam putusan MK ancaman hukuman yang dilihat intinya ada pada norma. “Norma ini telah ditindaklanjuti oleh MA, lalu putusan MA sudah dilaksanakan dan dikaji oleh PTUN. Lalu, PTUN tidak ada persoalan hukum pencalonan Irman Gusman. Maka PTUN memutuskan hal itu, memerintahkan KPU mencabut daftar DCT dan mengganti dengan SK yang baru dengan mencantumkan nama Irman gusman,” tutur Penulis Indonesia itu.
Jika dipahami secara norma hukum, putusan PTUN yang mengabulkan seluruh gugatan Irman Gusman terhadap KPU, SK DCT tanpa nama Irman Gusman tidak berlaku lagi seiring dengan perintah PTUN kepada KPU untuk menerbitkan SK baru dan mencantumkan nama Irman Gusman. Namun KPU tidak melaksanakan satupun perintah dalam putusan PTUN.
“Di sini, harus diperhatikan implikasi hukumnya. Jika dipahami dengan baik, problem hari ini adalah eksekusi terhadap putusan sesuai dengan PKPU. Di dalam PKPU setiap putusan PTUN sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Maka tidak ada alasan bagi KPU untuk tidak melaksanakan putusan PTUN,” katanya.
Dikatakannya, apabila KPU tidak melaksanakan putusan tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan oleh KPU berhak mengajukan permohonan eksekusi kepada Bawaslu. Di samping itu, Bawaslu juga sudah menerbitkan surat perintah kepada KPU untuk melaksanakan putusan PTUN.
“Bawaslu juga sudah melayangkan surat perintah kepada KPU, namun KPU tetap tidak melaksanakannya. Sudah dua kali putusan yang diabaikan KPU, yaitu putusan PTUN dan surat dari Bawaslu sebagai Badan Pengawas Pemilu,” ucapnya.
Jika diseret kepada Undang-Undang Pemilu, ia katakan bahwa apabila KPU tidak mengindahkan perintah dari Bawaslu, maka KPU terancam pidana terkait dengan tindak pidana pemilu. “Jika kita bawa ke aturan yang lain, misalnya aturan mengenai kode etik yang ditegakkan oleh DKPP, maka kalau memang tidak dilakukan, otomatis ketua KPU atau anggota KPU Pusat sudah melanggar kode etik dan aturan hukum sehingga bisa terancam diberhentikan secara tidak hormat oleh DKPP,” ujarnya. (h/ipt)