PADANG, HARIANHALUAN. Id–Mantan Ketua PB HMI Arief Rosyid Hasan akan memberikan pidato mengenai bagaimana pola pembangunan pemuda kedepan. Dengan tema Gerbong Pemuda dan Visi Indonesia Emas 2045, pidato tersebut akan disampaikan di Aula Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang (UNP) pada Jumat, (26/1/2024).
Panitia Pelaksana, Reno Fernandes mengatakan, orientasi kebijakan pemerintah untuk pemuda harus berbasis pada kebudayaan dan kearifan lokal. Indonesia merupakan negara majemuk yang terdiri dari beragam suku bangsa lengkap dengan bahasa, adat, dan budayanya. Indonesia mampu menjadikan kemajemukan sebagai anugerah yang mempersatukan perbedaan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Proses mempersatukan segenap perbedaan itu membutuhkan usaha tidak kenal lelah yang dilakukan oleh para founding father. Mereka berhasil meyakinkan segenap masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa tadi untuk bergabung dalam proyek bersama, Nasionalisme Indonesia,” kata Reno.
Founding father tersebut, katanya sebagian besar berasal dari Pantai Sumatera tepatnya Suku Minangkabau yang sangat berperan dalam memberikan nafas bagi berdirinya Bangsa Indonesia.
“Hal yang tidak kalah penting untuk kita garis bawahi adalah mereka yang berjuang itu adalah Anak Muda. Sebut saja Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Muhammad Natsir, Muhammad Yamin, dan banyak tokoh lainnya telah memulai aktivisme dalam gerakan kebangsaan sejak berumur dua puluhan tahu,” ujarnya
Dikatakannya, meskipun memiliki keyakinan politik yang beragam dan mereka mampu bekerja sama dan berkontribusi secara positif untuk Republik Indonesia, merupakan contoh gemilang dari egalitarianisme yang melekat dalam budaya Minangkabau.
“Ini mempertegas bahwa keberagaman pandangan, ketika dikelola dengan arif dan bijaksana, dapat menjadi kekuatan penggerak bangsa, menciptakan lingkungan yang inklusif, dan mengantarkan Indonesia ke arah persatuan dan kemajuan yang berkelanjutan,” ujarnya lagi.
Ia menyebutkan, pidato tersebut nantinya akan membahas mengenai bagaimana Minangkabau akhirnya menjadi tanah yang melahirkan pemikir kritis yang terdiri dari generasi muda Minangkabau.
“Pembatasan sekolah untuk pribumi memunculkan sekolah-sekolah swasta yang diprakarsai oleh beberapa orang terpelajar yang selesai menunaikan ibadah haji sambil berguru di Makkah. Sekolah swasta ini unik karena mengadopsi sistem sekolah Belanda dan menggabungkannya dengan pendidikan Islam,” tutur Reno.
Lebih dari seabad yang lalu, katanya, masyarakat Minangkabau telah diakrabkan dengan kultur Pendidikan yang kental. Dimulai dari tersebarnya sekolah-sekolah swasta, dari pesisir pantai hingga dataran tinggi di Minangkabau.
“Di tahun 1840an misalnya, Sekolah Nagari (Nagari Schools) telah didirikan di tanah ini. Tidak berselang lama, di tahun 1856, Kweekschool di Bukittinggi pun didirikan untuk mendidik guru-guru yang akan ditugaskan di daerah Hindia-Belanda. Kemudian pada tahun 1911, sekolah-sekolah Islam bermunculan seperti Perguruan Thawalib Padang Panjang, Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang dan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang,” ucapnya.
Pada akhirnya, dapat diamini bersama bahwa karakter egalitarianisme dan kesadaran akan pendidikan oleh orang-orang Minangkabau lahir dari sejarah panjang yang saling terjalin.
“Dalam hal ini, daya juang dan keluhuran nalar Masyarakat Minangkabau menjadi penguat identitas di tengah kerumitan-kerumitan zaman,” katanya.
Selain itu katanya, yang tak kalah penting, pidato tersebut akan menyampaikan apa yang membuat pemuda Minang berpikir luas dan terbuka melalui falsafah adat Karatau madang dihulu babuah babungo balun, Marantau bujang dahulu di kampuang paguno balun.
“Merantau atau meninggalkan kampung halaman dan tentu saja melepaskan diri dari ikatan primordial, adalah salah satu fenomena sosial-kultural yang telah bermula sekian abad yang lalu. Selain sebagai keharusan, merantau sekaligus diidealkan bagi anak muda Minang menjelang dewasa,” tuturnya.