Sementara itu, Direktur WALHI Sumbar Wengki Purwanto menyoroti bagaimana krisis politik membawa krisis ekologi. Ia mengibaratkan panen bencana ekologis akan semakin terakumulasi jika memilih pemimpin yang peduli terhadap lingkungan..
Wengki melihat bahwa agenda pembangunan pemerintah saat ini lebih mengutamakan kepentingan pengusaha daripada kepentingan rakyat.
“Contoh PSN di Air Bangis. Bagaimana bisa 70 persen dari luas wilayah nagari tersebut diberikan kepada badan hukum korporasi. Rakyat dipenjara karena berada di kawasan hutan yang ironisnya akan dihapuskan untuk kepentingan komersialisasi,” paparnya.
Di sisi lain, Direktur YCM Mentawai Rifai Lubis menyoroti marginalisasi yang dialami oleh masyarakat adat dalam proses pembangunan. Ia menilai, kebijakan dan undang-undang yang ada cenderung mengabaikan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.
“Pemilu hanya memberi harga pada kelompok mayoritas, sementara masyarakat adat sering diabaikan,” tuturnya.
Rifai menjelaskan idealnya pemilihan pemimpin dan pengambilan kebijakan harus memperhitungkan hak-hak masyarakat adat. “Salah satu fungsi pemilu adalah seleksi kebijakan. Pemilu harus menawarkan kebijakan yang mengakomodasi hak-hak masyarakat adat,” tambahnya. (h/fzi)