PADANG, HARIANHALUAN.ID — Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Negeri Padang (UNP), Nora Eka Putri menyebut, pembangunan PSN maupun kegiatan investasi di Sumbar tidak akan menimbulkan konflik agraria berkepanjangan selama pemangku kebijakan mau menerapkan prinsip hybrid policy.
Doktor Studi Kebijakan Publik ini menegaskan, setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan persoalan ruang hidup masyarakat dan aktivitas investasi, harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat terdampak.
“Jika sejak awal pemerintah melibatkan masyarakat dalam perencanaan pembangunan sebagaimana prinsip hybrid policy, maka saya kira konflik agraria atau penolakan masyarakat bisa dicegah atau minimal tidak berlarut-larut,” ujarnya kepada Haluan, Selasa (27/3).
Secara sosiologis, masyarakat adat Minangkabau di Sumbar memang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan tanah ulayat milik kaum atau suku komunal mereka.
Keberadaan tanah ulayat ini faktanya telah dijamin dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker), serta berbagai aturan hukum lain yang berlaku di negara ini.
Namun ironis, hak ulayat masyarakat hukum adat di berbagai daerah di Tanah Air saat ini justru seringkali diabaikan oleh negara karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu. Seperti saat adanya rencana investasi.
“Letusan konflik agraria di berbagai daerah telah menunjukkan hal itu, mulai dari apa yang dialami warga Rempang Galang, Pegunungan Kendeng hingga Air Bangis. Itu semua terjadi,” ucap Nora.
Agar perampasan tanah masyarakat atas nama investasi oleh negara tidak berlanjut, Nora meminta pemerintah untuk menghormati eksistensi hak masyarakat adat. Utamanya keberadaan tanah ulayat milik mereka.
“Sudah semestinya pemerintah melahirkan instrumen hukum untuk melindungi tanah ulayat. Pasalnya saat ini pun masih banyak tanah ulayat di Sumbar yang belum terdaftar atau didaftarkan di buku tanah. Ini harus segera dicarikan instrumen pelindungnya,” kata Nora.
Hal senada juga disampaikan Pengamat Kebijakan Publik Universitas Andalas (Unand), Prof. Asrinaldi. Menurutnya, jika dilihat dari kekuatan APBD yang belum sepenuhnya bisa mendukung program pembangunan, Sumbar memang membutuhkan PSN.
“APBD malah banyak yang defisit. Butuh kita PSN. Tapi tentu disesuaikan dengan apa yang menjadi program strategis nasional. Sumbar memang butuh pembangunan, tapi tidak semua yang ada di Sumbar bisa dijadikan PSN,” katanya kepada Haluan, Rabu (27/3).
Guru Besar Ilmu Politik Unand itu menyebut, PSN yang perlu dilanjutkan dan dibutuhkan Sumbar saat ini salah satunya adalah Jalan Tol Padang-Pekanbaru. Namun ia menyayangkan proyek tersebut sudah tidak masuk lagi ke dalam PSN.
“Proyek jalan tol itu membutuhkan investasi yang besar, makanya PSN dibutuhkan. Atau barangkali di bidang pertanian, untuk daerah-daerah yang memang menjadi embung irigasi dan seterusnya. Itu juga perlu di Sumbar apabila ingin pertanian maju. Karena bagaimanapun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Sumbar paling besar itu ada di sektor pertanian. Maka menurut saya itu harus ditambahkan,” ujarnya.
Di lain pihak, persoalan Sumbar yang “tidak nyaman” investasi harus menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan pemerintah dan investor. Lebih-lebih dalam hal pendekatan kepada masyarakat.
“Di Sumbar, persoalan tanah ulayat atau tanah kaum memang bukan persoalan personal. Pendekatannya juga harus dengan pendekatan komunal dengan masyarakat dan tokoh-tokoh adat. Walaupun mereka tidak punya hak milik, tapi mereka yang menjaga itu,” ucapnya.
Asrinaldi melihat persoalannya adalah cara masuk yang selama ini yang tidak pas. Hal itulah yang harus diselesaikan oleh pemerintah daerah (pemda). Pemda, ujarnya, harus memberi tahu masyarakat, karena bagaimanapun masyarakat juga punya pengetahuan dan informasi terbatas.
“Di samping itu, proyek nasional juga sangat tergantung pada political will presiden. Karena presiden menganggap apa yang mereka kerjakan selama ini tidak mendapatkan dukungan masyarakat Sumbar, tentu mereka tidak mau lagi. Itu yang jadi persoalannya,” tutur Asrinaldi. (*)