BMKG Ungkap Penyebab Suhu Panas Landa Sejumlah Daerah

Suhu Panas

Petugas Stasiun Klimatologi BMKG mengamati penyinaran matahari dengan menggunakan alat Campbell Stokes. IST/BMKG

JAKARTA, HARIANHALUAN.ID—Sejak pekan lalu, gelombang panas (heat wave) melanda sejumlah negara Asia Tenggara. Di Indonesia, kendati suhu panas juga terasa di sejumlah daerah, namun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan bukan gelombang panas yang sama yang melanda Thailand dan Filipina sepekan terakhir.

Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto mengatakan, suhu panas yang akhir-akhir ini terjadi di sejumlah daerah di Indonesia disebabkan posisi matahari yang berada tidak jauh dari ekuator yang sekarang sedang berada di belahan bumi utara (BBU).

Hal tersebut menyebabkan wilayah yang berada di ekuator mendapatkan penyinaran matahari yang maksimum dan menyebabkan suhu udara yang terdapat di wilayah Indonesia terasa lebih panas daripada biasanya.

“Fenomena suhu panas yang terjadi di Indonesia belakangan, jika ditinjau secara karakteristik fenomena maupun secara indikator statistik pengamatan suhu, tidak termasuk ke dalam kategori gelombang panas (heat wave), karena tidak memenuhi kriteria untuk disebut gelombang panas,” kata Guswanto.

Secara karakteristik fenomena, suhu panas yang terjadi di wilayah Indonesia merupakan fenomena akibat dari adanya gerak semu matahari yang merupakan suatu siklus yang biasa. Hal ini terjadi setiap tahun, sehingga potensi suhu udara panas seperti ini juga dapat berulang pada periode yang sama setiap tahunnya.

BMKG mengidentifikasi masih adanya potensi peningkatan curah hujan secara signifikan hingga seminggu ke depan. Peningkatan terjadi di sebagian besar Sumatera, Jawa bagian barat dan tengah, sebagian Kalimantan dan Sulawesi, Maluku, dan sebagian besar Papua.

“Potensi hujan signifikan terjadi karena kontribusi dari aktivitas Madden Julian Oscillation (MJO), Gelombang Kelvin, dan Rossby Equatorial, serta kondisi suhu muka laut yang hangat pada perairan wilayah sekitar Indonesia,” kata Guswanto.

Sementara itu, Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani menerangkan bahwa bulan April merupakan periode peralihan musim dari musim hujan ke musim kemarau di sebagian besar wilayah di Indonesia.

Untuk itu, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan dan antisipasi dini terhadap potensi cuaca ekstrem seperti hujan lebat dalam durasi singkat yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang, angin puting beliung, dan fenomena hujan es.

Salah satu ciri masa peralihan musim adalah pola hujan yang biasa terjadi pada sore hingga menjelang malam hari dengan didahului oleh adanya udara hangat dan terik pada pagi hingga siang hari.

Hal ini terjadi karena radiasi matahari yang diterima pada pagi hingga siang hari cukup besar dan memicu proses konveksi (pengangkatan massa udara) dari permukaan bumi ke atmosfer sehingga memicu terbentuknya awan.

Karakteristik hujan pada periode peralihan cenderung tidak merata dengan intensitas sedang hingga lebat dalam durasi singkat. Apabila kondisi atmosfer menjadi labil/tidak stabil maka potensi pembentukan awan konvektif seperti awan Cumulonimbus (CB) akan meningkat.


Awan CB inilah yang erat kaitannya dengan potensi kilat/petir, angin kencang, puting beliung, bahkan hujan es. Dalam dua hingga tiga hari ke depan, potensi labilitas Lokal Kuat yang mendukung proses konvektif pada skala lokal terdapat di hampir sebagian besar wilayah Indonesia. (*)

Exit mobile version