Rawan Politik Transaksional Pilkada Sumbar

Spanduk sosialisasi nomor urut partai politik terpampang di ruang publik. IST

Spanduk sosialisasi nomor urut partai politik terpampang di ruang publik. IST

PADANG, HALUAN — Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Sumbar berpotensi “dinodai” oleh politik transaksional seiring mulai bergerilyanya partai politik menjaring bakal calon.

Direktur Eksekutif Sumatera Barat Leadership Forum (SBLF) Riset & Consultant, Edo Andrefson melihat, di tengah realita politik Indonesia yang berbiaya mahal (highlycost), kekhawatiran akan politik transaksional cukup beralasan pada kontestasi Pilkada Sumbar. “Kekhawatiran itu bahkan telah terbukti dalam lima kali pilkada yang telah kita lalui,” ujarnya, Selasa (7/5).

Edo menjelaskan, dalam menentukan kandidat bakal calon (bacalon) yang akan diusung pada Pilkada mendatang, parpol pasti memiliki sejumlah kriteria dan parameter tertentu.

Beberapa parameter krusial penentu raihan golden ticket itu adalah survei elektabilitas, kekuatan jaringan, hingga kekuatan logistik atau uang untuk membiayai pemenangan. “Parameter yang paling krusial adalah soal uang. Tidak bisa kita pungkiri bahwa pemenangan ini butuh logistik yang cukup besar. Di sinilah parameter uang ini diukur. Dengan kata lain, seberapa kuat para calon sanggup menyiapkan dana,” katanya.

Ketersediaan logistik uang pemenangan yang dimiliki kandidat ini dalam beberapa kasus juga seringkali memengaruhi isi surat keputusan (SK) dewan pengurus pusat (DPP) parpol, yang notabene adalah syarat mutlak bagi bacalon kepala daerah agar bisa maju dalam Pilkada Sumbar.
Situasi ini biasanya terjadi ketika kandidat tertentu yang hendak berlaga di pilkada tidak mengikuti mekanisme penjaringan bacalon yang sah dari awal.

Sehingga pada akhirnya si “kandidat sakti” ini melakukan lobi-lobi jalan pintas dengan iming-iming tertentu kepada pengurus DPP parpol di tingkat pusat. “Makanya kadang kala nama kandidat yang muncul dalam pendaftaran tingkat kabupaten/ kota bisa berubah di SK DPP,” ucapnya.


Selain jual beli SK usungan dari DPP Parpol, pola politik uang lain yang juga sering dilakukan parpol adalah mengobral biaya dukungan atau tiket usungan parpol kepada kandidat dalam Pilkada Sumbar. Nominal biaya tiket usungan ini biasanya akan disesuaikan dengan jumlah kursi yang dimiliki parpol di parlemen tingkat daerah.

“Kita banyak mendengar informasi bahwa nilai satu atau dua kursi itu cukup fantastis bagi kandidat yang ingin mendapatkan tiket. Ada juga modusnya bukan beli kursi, tetapi pada biaya operasional pemenangan yang akan dikelola dan digerakkan parpol. Misalnya saja untuk pemenangan pilkada di tingkat kabupaten/kota. Itu dibutuhkan Rp1-Rp5 miliar. Nominal itulah yang ditawarkan parpol kepada bacalon,” katanya.

Edo menuturkan, realita politik uang yang lazim terjadi di Sumbar maupun daerah lainnya ini memang cukup mengkhawatirkan dan
merupakan ancaman laten bagi demokrasi serta kualitas kepemimpinan daerah di masa yang akan datang.

Dengan adanya politik berbiaya mahal ini, parpol pada akhirnya tidak lagi melihat kompetensi dan gagasan yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat sebagai suatu hal yang penting. “Ini yang sangat disayangkan. Karena ketika si calon sudah terpilih, parpol pun akan lepas tangan atas kandidat yang mereka usung di pilkada nanti,” ucapnya.

Atas dasar itu, Edo mendorong seluruh parpol di Sumbar untuk menerapkan mekanisme penjaringan bacalon kepala daerah, baik bagi kader maupun non kader, yang terbuka dan transparan sejak awal. Informasi penjaringan harus dibuka seluas-luasnya kepada publik. Dalam proses itu pun harus diupayakan agar parpol tidak memungut sepeser pun biaya dari para kandidat, baik saat proses pengambilan formulir maupun pengembaliannya.

“Diharapkan juga ada upaya penjaringan publik selain survei. Masing-masing kandidat harus diberi panggung oleh parpol untuk menyampaikan visi dan misi unggulan selama mereka menjabat. Itu bisa dilakukan lewat media sosial (medsos) maupun diberi panggung di ruang publik yang didengarkan banyak orang,” kata Edo.

Apabila setiap parpol menerapkan hal itu, maka masyarakat pemilih tidak akan menjadi pembeli kucing dalam karung untuk Pilkada Sumbar. Masyarakat tidak akan disodorkan kandidat yang akan dipilih pada hari pencoblosan saja. (*)

Berita Terkait : Polda Petakan Kerawanan Pilkada Sumbar

Exit mobile version