“Sementara topografi kita banyak lereng terjal, pohon-pohon sudah banyak yang rusak. Tutupan lahan pun sudah tidak utuh lagi. Jadi usaha terbaik sebenarnya adalah menghindari risiko jatuhnya korban harta maupun nyawa,” ucapnya.
Ia menyebut, pemda mungkin bisa saja melakukan relokasi atau memindahkan masyarakat dari kawasan rawan erupsi Marapi, seperti halnya yang telah di lakukan di Sulawesi. Selain opsi itu, dalam upaya meminimalisasi risiko, pemerintah juga bisa membuat tanggul-tanggul atau kolam retensi penampungan aliran lahar Marapi supaya tidak meluber ke wilayah pemukiman. “Namun yang terpenting adalah pemetaan daerah rawan. Terkait ini, pemetaan sebenarnya sudah ada, tapi tidak pernah dipedulikan, Inilah masalahnya,” katanya.
Isril Berd menilai, dalam menjalankan pembangunan, pemerintah daerah maupun pelaku usaha di Sumbar masih sering mengabaikan zonasi kawasan, Rancangan Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW), hingga Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (RPDAS) Terpadu yang telah ada.
Kondisi itu dapat dilihat dari berdiri dan mulai menjamurnya bangunan-bangunan kafe, restoran, hotel, maupun tempat pemandian di sepanjang aliran DAS Anai yang seharusnya adalah kawasan lindung.
“Kami sudah lama mengingatkan situasi seperti ini kepada masyarakat dan pemilik restoran di sana, tapi tidak ditanggapi. Akhirnya, alam yang menanggapinya, sehingga akhirnya cafe Xakapa hilang sendiri diterjang banjir bandang,” tuturnya. (*)