PADANG, HARIANHALUAN.ID – Bencana galodo dan banjir bandang yang meluluhlantakkan Sumatera Barat (Sumbar) pada Sabtu (11/5) hingga kini masih menjadi duka mendalam bagi khalayak banyak. Aspal yang tergerus jadi kepingan, batu-batu besar berguling tanpa ampun, serpihan tanah yang dikikis oleh hujan menjadi memori yang tertanam dalam kepala masing-masing pengendara yang langsung menyaksikannya. 8
Malam itu, bertolak dari Kota Padang hendak ke kampung halamannya di Payakumbuh, Septian Deo Benanda dan istrinya sampai di Sicincin sekira pukul 22.30 WIB. Cuaca malam itu masih lembab sebab hujan tak henti mengguyur sepanjang jalan. Sampai di Sicincin, jalanan sudah macet panjang, klakson mobil dan motor bersahut-sahutan, mereka berebut jalanan di tengah derasnya hujan.
Kendaraan merayap di aspal sedikit demi sedikit, hujan tak kunjung reda, air sudah menggenang dimana-mana. Kala itu, tampak olehnya air sudah naik hingga mata kaki saat dirinya sampai di Silaiang Bawah. Saat hendak meneruskan perjalanan, mesin kendaraannya sudah tak sanggup lagi karena air semakin lama semakin tinggi dan jalanan sudah semakin riuh, orang-orang mulai resah termasuk Deo dan istri. Ia menyaksikan betapa air semakin lama semakin besar.
Masih tak putus asa, Deo tetap berusaha menginjak pedal gas meski mobilnya nihil bergerak. Air semakin lama semakin naik, merendam dan menghanyutkan kendaraan yang terjebak di lokasi. Nyaris, mobil yang ia kendarai dibawa arus, namun tertahan oleh satu mobil pick up yang membawa kelapa di belakangnya.
“Saat mobil saya tertahan oleh mobil pick up itu, saya meminta bantuan pada supirnya untuk menyelamatkan istri saya yang saat itu sudah kalang kabut. Setelah istri saya diselamatkan, saya masih mencari cara agar mobil saya bisa diselamatkan meski itu hanya usaha yang sia-sia,” katanya mengisahkan kepada Haluan, Selasa (14/5).
Tak lama setelah itu, air sudah naik setinggi kaca mobil. Ia cabut kunci mobil dan berusaha menyelamatkan diri. Masuklah ia ke dalam mobil pick up pengangkut kelapa yang sudah menyelamatkan istrinya. Air datang semakin tak terbendung seolah akan menghanyutkan seluruh kendaraan kala itu.
“Saat itu saya masih optimis akan selamat. Saya katakan kepada supir pick up bahwa saya tidak mau berakhir di sini. Sontak saja saya ajak supir itu untuk meninggalkan mobilnya. Saya, istri saya dan supir itu keluar tergesa-gesa menuju masjid yang ada di pinggir jalan,” ujaranya.
Dalam usaha menyelamatkan diri, ia dapati istrinya terjatuh dan pingsan. Ia memboyong istrinya sembari berlari sekuat tenaga. Setelah beberapa saat, ia menyadari darah sudah mengalir di kakinya. Saat itu sakit karena luka sudah samar karena dalam pikirannya hanya bagaimana ia dan istrinya bisa selamat dari bencana tersebut.
“Sampailah saya pada titik dimana ada regu penyelamat. Saya dan istri saya diselamatkan, kaki saya diobati dan diperban. Di lokasi tersebut sudah berkumpul beberapa orang yang berhasil diselamatkan. Disana, kami saling membantu, saya diberikan pakaian ganti karena pakaian saya sudah kumal karena lumpur,” tuturnya.
Nyatanya, bencana tak berhenti di sana, tak berhenti hanya sampai air gadang merendam jalanan, menghanyutkan puluhan kendaraan yang dua di antaranya disaksikan langsung oleh Deo di depan matanya sendiri. Dua mobil di depan mobilnya, yang berisikan manusia, hanyut begitu saja.
“Tepat di depan mobil saya, dua mobil itu hanyut. Avanza hitam yang nampak jelas hanyut sampai jauh dan setengah mengapung. Kemudian Hyundai yang terseret dan tersandar di bagian tepi jalan. Kejadian itulah yang membuat saya bergegas meminta bantuan agar saya dan istri saya diselamatkan oleh supir pick up. Hingga akhirnya saya bertemu dengan regu penyelamat,” tutur Deo sembari bersyukur.
Seolah tak bercelah, longsor datang tanpa aba-aba, batu-batu besar hanyut bersama air dan lumpur, jalanan hancur digerus tanpa ampun, benar memang, tiada yang sanggup melawan alam. Saat itu, alam seolah mengamuk, tangisan manusia bersahut-sahutan, meringis menahan sakit dan kehilangan.
“Sekira pukul dua dini hari, sampailah saya diarahkan ke sebuah warung di bawah masjid, di sana orang-orang kesakitan dan kehilangan berkumpul. Mereka diobati, diberi minum, diselimuti dan bertukar tangis. Saya dan istri saya berusaha tenang dan kami mulai istirahat,” katanya.
Pagi sudah meninggi, ia terbangun pukul delapan. Di warung tempatnya beristirahat, orang-orang sudah berkemas dan melanjutkan perjalanan, mencari tumpangan. Saat itu, nampak olehnya puluhan kendaraan tak terselamatkan. Ia sempatkan memeriksa mobilnya yang sudah rusak parah dan berbajukan lumpur hingga ke bagian dalam. Lokasi bencana yang sebelumnya indah sejauh mata memandang, kini sudah luluh lantak digerus banjir bandang.
Saat terbangun, ia menuturkan hujan sudah reda, air sudah surut dan jalanan dipenuhi lumpur. Puluhan kendaraan terkepung dan tak terselamatkan. Di tengah-tengah cuaca yang masih lembab, regu penyelamat dan alat-alat berat lalu lalang membersihkan jalanan.
“Tak terkatakan, saat itu saya hanya mampu bersyukur masih diberi keselamatan meskipun rasa sakit di kaki masih saya rasakan. Saya dan istri berkemas, bergegas menumpang kendaraan demi kendaraan, berpindah-pindah hingga sampai di Silaiang Atas,” ujar Deo sembari mengingat-ingat kejadian.
Sampailah ia di Silaiang Atas, darah kembali mengucur dari kakinya. Sudah teramat lelah dan darah sudah berceceran, akhirnya ia temukan ambulan yang juga termasuk regu penyelamat kala itu. Ia hampiri dan meminta diganti perbannya dengan yang baru.
“Usai perban saya diganti, saya melanjutkan perjalanan hingga ke atas bukit dan sampai sekira pukul sepuluh. Di sana, posisinya, saya sudah dijemput oleh keluarga saya. Kami melanjutkan perjalan menuju rumah sakit Ibnu Sina Padang Panjang,” tuturnya.
Di rumah sakit, kakinya dan bagian lain yang terluka diobati. Satu setengah jam berlalu, ia dan keluarganya mulai berangsur-angsur menuju Payakumbuh. Dalam perjalanan, perasaan sudah bercampur. Ia bersyukur karena ia dan istrinya masih diberikan keselamatan. Di samping itu, ia bersedih dan tersayat membayangkan mereka yang hanyut dibawa arus. Baginya, perjalanannya saat itu merupakan perjalanan penuh emosi, rasa takut, kalut, cemas bersatu dalam kepalanya.
Saat ini, ia dan istrinya sudah berada di kampung halaman. Kakinya sembab dan sedang dalam masa pemulihan. Istrinya tidak terluka sedikitpun karena sudah diselamatkannya terlebih dahulu.
“Sekarang kaki saya agak berat, tapi tetap saya syukuri karena tak ada yang lebih nikmat saat ini selain diberikan keselamatan dan bisa melanjutkan hidup. Bencana ini akan selalu terekam dalam kepala saya, bagaimana air gadang menghanyutkan kendaraan dan galodo menghantam jalanan hingga berkeping-keping,” tuturnya menutup percakapan. (*)