Lembaga pendidikan swasta yang muncul di kawasan pesisir pantai hingga dataran tinggi ini, bahkan telah mengadopsi sistem pendidikan barat ala Belanda dan memadukannya dengan sistem pendidikan islam model Surau.
“Tingginya kesadaran masyarakat Sumbar atas pendidikan saat itu, akhirnya melahirkan banyak sekali tokoh-tokoh Minang yang menguasai panggung-panggung politik dan pemerintahan nasional pada masa itu,” ucapnya.
Namun begitu sambung Prof Djoe, meletusnya gejolak Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada rentang tahun 1958-1962, telah membentuk suatu babak kelam yang tak terlupakan dalam panggung sejarah Sumatra Barat.
Periode yang mencerminkan ketidaksetujuan tajam tokoh-tokoh Sumbar terhadap kebijakan Jakarta yang terlalu sentralistik ini, membuat pemerintah pusat melihat daya kritis masyarakat terdidik Sumbar sebagai suatu ancaman.
Peristiwa itu akhirnya membawa konsekuensi tragis bagi Sumbar. Sebab setelah penumpasan PRRI, masyarakat Sumbar yang sudah terbiasa berdialektika, dihadapkan kepada tuntutan untuk tunduk sepenuhnya kepada pemerintah pusat.
“Pasca penumpasan PRRI, masyarakat Sumbar jatuh terpuruk, mereka mengidap suatu hal yang disebut sejarawan Gusti Anan sebagai mentalitas orang Kalah perang” ucapnya.
Pada tahap yang lebih parah pasca diberangusnya gerakan PRRI sampai ke akar-akar oleh pemerintah pusat saat itu, masyarakat Sumbar bahkan ada yang malu mengakui identitasnya sebagai orang Minang.
Hancurnya mentalitas harga diri orang minang pasca kekalahan PRRI, Gubernur Sumbar saat itu, Harun Zein kemudian menggelorakan semangat Mambangkik Batang Tarandam ditengah-tengah masyarakat banyak.