Gerakan rakyat ini , diikuti dengan dimainkannya politik Malakok ke pemerintah pusat era orde baru oleh Gubernur Harun Zein beserta sejumlah Gubernur penerus kepemimpinannya.
Politik yang lebih adaptif dan kompromis dengan Jakarta ini, diambil karena para pemimpin Sumbar saat itu, sadar betul bahwa Sumbar tidak punya kemampuan yang cukup untuk membangun daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat.
“Itu sesuai dengan pepatah Minang, Kalau Takuik Jo Ujuang Badia, Lari Ka Pangka Badia. itu yang dilakukan pemerintah daerah Sumbar waktu itu, mulai dari Pak Harun Zein, Azwar Anas hingga Hasan Basri Durin,” ucapnya.
Menurut Prof Djo kepemimpinan yang efektif , Acceptable, stabil dan didukung penuh masyarakat banyak seperti yang pernah terjadi di era kepemimpinan Gubernur Harun Zein dan setelahnya , telah terbukti mampu mewujudkan percepatan pembangunan Sumbar di masa lalu.
Hal itu terbukti dengan didapatkannya penghargaan tanda kehormatan Parasamya Purnakarya Nugraha dari Presiden Soeharto pada tahun 1984. Penghargaan itu diraih karena begitu pesatnya laju pembangunan daerah yang berhasil diwujudkan pada masa Pelita III.
Namun sayangnya, menurut Prof Djo, kepemimpinan efektif, legitimate dan Acceptable seperti yang pernah terjadi di Sumbar pada masa lampau, nyaris sulit diwujudkan di dalam sistem politik demokrasi Indonesia yang menganut sistem One Man One Vote seperti saat ini.
Sebab dalam sistem kepartaian serta demokrasi indonesia saat ini, pada akhirnya membuat semua kebijakan politik, termasuk pembangunan, diputuskan lewat kacamata pertimbangan elektoral Pemilu.
Di tengah realitas politik saat ini, sangat penting bagi Sumatra Barat untuk memiliki kepemimpinan yang Acceptable, dan dapat diterima semua pihak. Baik itu di skala daerah maupun nasional.