Ketertinggalan Sumbar dan Kualitas SDM yang Kian Krisis

Krisis SDM yang berkualitas menjadi salah satu refleksi peting dalam kemajuan Sumatra Barat saat ini. IST

Krisis SDM yang berkualitas menjadi salah satu refleksi peting dalam kemajuan Sumatra Barat saat ini. IST

PADANG, HARIANHALUAN.ID— Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi salah satu faktor yang cukup signifikan dalam ketertinggalan Sumatra Barat dibandingkan daerah lain. Termasuk juga kualitas SDM dalam konteks kepemimpinan.

Tokoh Intelektual Sumatra Barat, Prof Dr Djoehermansyah Djohan menyebut ada sejumlah faktor yang membuat Sumatra Barat hari ini, kian mengalami kemunduran dan ketertinggalan dari daerah lainnya di Indonesia.

Beberapa diantaranya adalah kian menurunya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), krisis kepemimpinan, kegagalan para pemangku kebijakan untuk memaksimalkan potensi daerah, hingga perubahan sistem politik.

“Beberapa  faktor itu membuat Sumbar hari ini semakin tertinggal dalam konteks kompetisi antar daerah. Padahal di era pasca kemerdekaan, Sumbar pernah menjadi daerah yang paling kompetitif di di kawasan Sumatra Tengah,” ujarnya kepada Haluan Rabu (22/5/2024).

Prof Djoe menjelaskan, penurunan kualitas SDM Sumbar hari ini, sesungguhnya sangat kontras dengan fakta sejarah yang jelas-jelas telah membuktikan bahwa Sumbar adalah tanah kelahiran bagi para Founding Father serta  sederetan tokoh intelektual  pemikir lainnya .

Kemunculan cendikiawan Minang generasi awal yang kemudian pemikiran dan gagasannya mewarnai perjalanan panjang bangsa Indonesia dari zaman kolonial belanda sampai saat sekarang ini, tidak terlepas dari tingginya kesadaran masyarakat Sumbar  terhadap arti penting pendidikan pada masa itu

Sekitar satu abad lampau , kata Prof Djoe, ketika di daerah lainnya pendidikan masih dianggap sebagai suatu hal yang tidak begitu penting, di Sumbar malah telah bermunculan banyak sekali lembaga  pendidikan swasta yang begitu unik dan canggih pada masanya.

Lembaga pendidikan swasta yang muncul di kawasan pesisir pantai hingga dataran tinggi ini,  bahkan telah mengadopsi sistem pendidikan barat ala Belanda dan memadukannya dengan sistem pendidikan islam model Surau.

“Tingginya kesadaran masyarakat Sumbar atas pendidikan saat itu, akhirnya melahirkan banyak sekali tokoh-tokoh Minang yang menguasai panggung-panggung politik dan pemerintahan nasional pada masa itu,” ucapnya.

Namun begitu sambung Prof Djoe, meletusnya gejolak Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada rentang tahun 1958-1962, telah membentuk suatu babak kelam yang tak terlupakan dalam panggung sejarah Sumatra Barat.

Periode yang mencerminkan ketidaksetujuan  tajam tokoh-tokoh Sumbar terhadap kebijakan Jakarta yang terlalu sentralistik  ini, membuat pemerintah pusat melihat daya kritis masyarakat terdidik Sumbar  sebagai suatu ancaman.

Peristiwa itu akhirnya membawa konsekuensi tragis bagi Sumbar. Sebab setelah penumpasan PRRI, masyarakat Sumbar yang sudah terbiasa berdialektika,  dihadapkan kepada tuntutan untuk tunduk sepenuhnya kepada  pemerintah pusat.

“Pasca penumpasan PRRI, masyarakat Sumbar jatuh  terpuruk, mereka mengidap suatu hal yang disebut sejarawan Gusti Anan sebagai  mentalitas orang Kalah perang” ucapnya.

Pada tahap yang lebih parah pasca diberangusnya gerakan PRRI sampai ke akar-akar oleh pemerintah pusat saat itu, masyarakat Sumbar bahkan ada yang  malu mengakui identitasnya sebagai orang Minang.

Hancurnya mentalitas  harga diri orang minang pasca kekalahan PRRI,  Gubernur Sumbar saat itu,  Harun Zein kemudian menggelorakan semangat   Mambangkik Batang Tarandam ditengah-tengah masyarakat banyak.

Gerakan rakyat ini , diikuti dengan dimainkannya politik Malakok ke pemerintah pusat era orde baru oleh Gubernur Harun Zein beserta sejumlah Gubernur penerus kepemimpinannya.

Politik  yang lebih adaptif dan kompromis dengan Jakarta ini, diambil karena para pemimpin Sumbar saat itu, sadar betul bahwa Sumbar tidak punya kemampuan yang cukup untuk membangun daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat.

 “Itu sesuai dengan pepatah Minang,  Kalau Takuik Jo Ujuang Badia, Lari Ka Pangka Badia. itu yang dilakukan pemerintah daerah Sumbar waktu itu, mulai dari Pak Harun Zein,  Azwar Anas hingga  Hasan Basri Durin,” ucapnya.

Menurut Prof Djo kepemimpinan yang efektif , Acceptable, stabil dan didukung penuh masyarakat banyak  seperti yang pernah terjadi di era kepemimpinan Gubernur Harun Zein dan setelahnya , telah terbukti mampu mewujudkan percepatan pembangunan Sumbar di masa lalu.

Hal itu terbukti dengan didapatkannya penghargaan tanda kehormatan Parasamya Purnakarya Nugraha dari Presiden Soeharto pada  tahun 1984. Penghargaan itu diraih karena begitu pesatnya laju pembangunan daerah  yang berhasil diwujudkan  pada masa Pelita III.

Namun sayangnya, menurut Prof Djo,  kepemimpinan efektif, legitimate dan Acceptable seperti yang pernah terjadi di Sumbar pada masa lampau, nyaris sulit diwujudkan di dalam sistem politik demokrasi Indonesia yang menganut sistem One Man One Vote seperti saat ini.

Sebab dalam  sistem  kepartaian serta demokrasi indonesia saat ini, pada akhirnya membuat semua kebijakan politik, termasuk pembangunan, diputuskan lewat kacamata pertimbangan elektoral Pemilu.

Di tengah realitas politik saat ini, sangat penting bagi Sumatra Barat untuk memiliki kepemimpinan yang Acceptable, dan dapat diterima semua pihak. Baik itu di skala daerah maupun nasional.

Lebih lanjut, dalam upaya mendorong percepatan pembangunan Sumbar di masa yang akan datang, Prof Djoehermansyah Djohan, juga mendorong pemerintah daerah Sumbar saat ini untuk memaksimalkan sejumlah potensi ekonomi yang ada.

Seperti misalnya sektor pertanian, pariwisata, maupun keberadaan puluhan ribu atau jutaan orang perantau atau  Diaspora Minang yang tersebar di berbagai penjuru dunia.

“Satu lagi yang penting, bagi Sumbar yang punya filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, kita harus mampu menumbuh kembangkan potensi ekonomi keuangan syariah, industri halal dan sebagainya. Kita harus mampu membuat pusat melirik potensi itu,” katanya. (*)

Exit mobile version