Jati diri terbaik ‘urang Minang’ yang direpresentasikan para tokoh-tokoh kharismatik itu, kini kian memudar, kalau tidak boleh disebut tercerabut dan hilang. Hari ini, kita punya keinginan, kemauan dan impian, tapi skopnya kecil, bahkan kerdil. Keinginan dan kemauan kita terbatas pada kepentingan diri kita, keluarga kita, kelompok kita. Kita lebih banyak berpikir tentang apa yang bisa kita dapatkan daripada apa yang bisa kita berikan. Kita manfaatkan posisi dan otoritas kita; untuk meraih apa yang diri, keluarga dan kelompok kita inginkan. Kepentingan bangsa dan negara, kepentingan daerah, kepentingan rakyat; lebih banyak hanya pemanis kata.
Jati diri ‘Urang Minang’ yang jujur, bertanggung jawab, sederhana, santun, sabar, ikhlas, arif dan bijaksana yang tercermin dari tokoh bangsa yang lahir dari rahim Minangkabau tempoe doeloe, kian terkikis oleh pola hidup yang materialistis dan kapitalis. Orang Minang umumnya tahu hadist Nabi yang menyatakan,”sebaik-baik manusia adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” Tapi, dalam implementasinya, tidak banyak yang mengamalkan. Ujungnya, justru banyak kita yang terjerembab jadi pengikut hedonisme, yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Segala cara akhirnya dihalalkan. Akhirnya, peribahasa “mambangkik batang tarandam” sering diterjemahkan oleh banyak orang Minang sebagai upaya supaya jadi kaya raya, berpangkat dan terhormat (Dirwan Ahmad Darwis, kolom Refleksi #SumbarBangkit, Senin (27/5/2024) lalu.
Sebagian dari kita hari ini, risau. Resah dan gelisah. Bahkan, dari lubuk hati terdalam kita merindukan lahirnya tokoh-tokoh sekelas Buya Hamka, Natsir, Chairil Anwar, Rohana Kudus atau Djamaluddin Adinegoro. Kita pun terkenang pernyataan Prof Emil Salim tentang Sumbar yang akan jadi daerah industri otak. Pun masih bisa kita baca catatan masa lalu, sebelum penumpasan PRRI, Sumbar melesat meninggalkan daerah tetangga, terutama Riau dan Jambi yang hingga 1957 masih bergabung dengan Sumbar dengan nama saat itu, Sumatera Tengah.
Bahwa berbagai indikator pembangunan seperti yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), Bappeda, Bank Indonesia dan berbagai lembaga resmi lainnya menunjukkan tren positif, adalah sebuah fakta resmi. Pun dengan sederet piagam dan penghargaan yang diraih para kepala daerah di Sumbar, juga kenyataan, adanya. Kita tidak sangkal, itu.
Tapi, maukah juga kita jujur melihat data bahwa penyalahgunaan narkoba di daerah ini, sudah gila-gila-an. Sudah berbilang tahun Polda merilis, Sumbar darurat narkoba. Kasus asusila, Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual (LGBT) dan angka pengidap Aids-HIV, terus menghantui Ranah Minang. Kemana pemimpin kita? Ninik Mamak kita? Bundo Kanduang kita? Angku dan Buya kita? Bagaimana kabarnya visi-misi penguatan ABS-SBK para kepala daerah kita? Dimana para wakil rakyat yang akan membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat?
Mengapa #SumbarBangkit?
Sederet pertanyaan bernada risau itulah yang memicu lahirnya seri tulisan #SumbarBangkit. Tidak ada niat untuk menghakimi seseorang atau lembaga. Tak sebersit pun iktikad mencari siapa yang salah. Sebab, kalau mau jujur, kita harus berani mengatakan, yang salah adalah kita bersama. Tujuan utamanya adalah untuk mencari celah, agar Sumbar kita bisa bangkit dan maju. Tentram negerinya, sejahtera dan bahagia rakyatnya.