Gerakan rakyat ini, diikuti dengan dimainkannya politik malakok ke pemerintah pusat era orde baru oleh Gubernur Harun Zein beserta sejumlah Gubernur penerus kepemimpinannya. Politik yang lebih adaptif dan kompromis dengan Jakarta ini, diambil karena para pemimpin Sumbar saat itu, sadar betul bahwa Sumbar tidak punya kemampuan yang cukup untuk membangun daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat.
“Itu sesuai dengan pepatah Minang, kalau takuik jo ujuang badia, lari ka pangka badia. itu yang dilakukan pemerintah daerah Sumbar waktu itu, mulai dari Pak Harun Zein, Azwar Anas hingga Hasan Basri Durin,” ucapnya.
Prof Djo bercerita, para pemimpin Sumbar usai PRRI kala itu, benar-benar bersungguh-sungguh untuk merebut kembali hati pemerintah pusat era orde baru. Lewat kepiawaian sederet mantan pemimpin Sumbar pasca PRRI mengambil kembali hati pemerintah pusat ini, satu persatu program maupun mega proyek pembangunan dari pusat pun akhirnya mulai mengucur deras ke Sumatra Barat.
Selain personal touch sejumlah mantan Gubernur Sumbar yang berhasil menyenangkan hati pemerintah pusat, tambah Prof Djo, pada masa itu Sumbar juga memiliki kepemimpinan daerah yang efektif dan dapat diterima oleh semua kalangan. Mulai dari jajaran bupati/wali kota, akademisi, tokoh agama maupun adat. Ketika itu semuanya seiya sekata dan satu garis komando bahu membahu membangun Sumbar.
“Kepemimpinan Sumbar saat itu dapat diterima semua pihak atau acceptable. Sebab selain pimpinan daerah, mereka juga pimpinan adat sebagai datuak, serta pandai pula mengaji di surau sebagai ulama. Konsep tali tigo sapilin tigo tungku sajarangan memang saat itu benar-benar hidup,” jelas Prof Djo.
Menurutnya, kepemimpinan yang efektif, acceptable, stabil dan didukung penuh masyarakat banyak seperti yang pernah terjadi di era kepemimpinan Gubernur Harun Zein dan setelahnya, telah terbukti mampu mewujudkan percepatan pembangunan Sumbar di masa lalu.
Namun sayangnya, menurut Prof Djo, kepemimpinan efektif, legitimate dan acceptable seperti yang pernah terjadi di Sumbar pada masa lampau, nyaris sulit diwujudkan didalam sistem politik demokrasi Indonesia yang menganut sistem one man one vote seperti saat ini.