PADANG, HARIANHALUAN.ID — Pemerintah daerah (Pemda) harus lebih serius menekan laju deforestasi, terlebih setelah Sumatera Barat (Sumbar) dilanda berbagai bencana hidrometeorologi yang menimbulkan banyak korban jiwa. Tak hanya memburu pelaku perusakan hutan, pemerintah juga diminta mengevaluasi perizinan penggunaan kawasan hutan di sejumlah daerah di Sumbar.
Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar, Tomi Adam menyebut, Kabupaten Pessel (Pessel) merupakan salah satu daerah yang memiliki laju deforestasi atau pengurangan tutupan hutan tercepat di Sumbar.
Deforestasi di kabupaten berjuluk Nagari Sejuta Pesona ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti masifnya penerbitan izin pembukaan lahan perkebunan sawit, aktivitas ladang berpindah, maupun aksi pembalakan liar.
Tren laju deforestasi di Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan yang baru-baru ini menjadi lokasi terungkapnya kasus perusakan kawasan hutan seluas 1000 hektare bahkan terus menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun ke tahun.
“Apalagi di kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK). Berdasarkan analisis Walhi, lima tahun belakangan pembukaan kawasan hutan untuk lahan kelapa sawit di daerah itu sudah sangat masif,” ujarnya kepada Haluan, Senin (3/6).
Atas dasar itu, Tomi mengaku cukup heran kenapa kasus perusakan kawasan hutan di daerah itu baru terungkap sekarang. Apalagi jumlah pelaku yang ditangkap hanyalah satu orang saja. Lemahnya penegakan hukum lingkungan ini, tentu menimbulkan pertanyaan besar.
Ia mempertanyakan kenapa pihak kepolisian tidak melakukan pengembangan perkara sampai kepada para pemain besar yang diduga ikut bermain sebagai pemodal maupun pembeking dalam kasus ini.
“Apalagi sebenarnya tidaklah susah untuk menemukan alih fungsi lahan di Pessel. Bahkan tanpa turun ke lapangan, cukup dengan hanya dengan membuka peta kawasan dan citra satelit saja, perubahan tutupan lahannya pasti akan terlihat dengan jelas,” kata Tomi.
Masifnya laju deforestasi di Kabupaten Pessel ini, juga berkaitan erat dengan peningkatan risiko terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di masa yang akan datang. Sebab kenyataannya, kawasan hutan di daerah itu didominasi oleh tutupan lahan gambut yang rentan terbakar. Sehingga menjadi keharusan bagi pemerintah daerah dan aparat kepolisian untuk melakukan upaya penegakan hukum serta mitigasi pencegahan pembukaan.
“Apalagi para pelakunya ini bukan lagi masyarakat karena sudah menggunakan alat berat dan sudah pasti punya pembeking dan pemodal besar. Makanya, kami berharap agar penegakan hukum yang dilakukan ini jangan sampai berhenti kepada pemain kecil atau operator lapangan saja,” tuturnya.
Tomi mengingatkan, Dinas Kehutanan (Dishut) Sumbar bersama aparat kepolisian harus terus mengintensifkan lagi upaya patroli penjagaan dan pencegahan kerusakan kawasan hutan yang ada di Kabupaten Pessel.
Bagaimanapun, berkurangnya tutupan kawasan hutan di daerah itu telah jelas-jelas terbukti memicu terjadinya bencana ekologis seperti banjir bandang yang terjadi beberapa waktu lalu.
“Artinya, hutan memang punya fungsi lindung. Kalau tutupannya berkurang dan terus dibuka, kita sudah sama-sama menyaksikan terjadinya bencana banjir bandang dan tanah longsor,” ucapnya lagi.
Mengingat begitu penting dan krusialnya fungsi kawasan hutan ini, ia meminta agar upaya pencegahan maupun penindakan hukum bagi pelaku perusakan kawasan hutan benar-benar dilakukan secara serius, tegas, dan tidak pandang bulu.
“Bahkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pessel sudah sepantasnya untuk segera melakukan audit seluruh perizinan yang ada. Apakah izinnya sudah sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup atau tidak,” katanya.
Berdasarkan data GIS Walhi Sumbar, Tomi melanjutkan, di Kabupaten Pessel sudah banyak sekali aktivitas pertambangan, baik itu tambang galian C, batubara, maupun HGU yang dilakukan tanpa memperhatikan prinsip keberlanjutan lingkungan.
“Begitupun dengan perkebunan kelapa sawit di daerah Tapan. Walhi melihat masih ada indikasi pelanggaran yang dilakukan. Seperti misalnya menanam kelapa sawit di sempadan sungai yang seharusnya punya fungsi lindung. Pemerintah daerah harus berani menertibkan atau bahkan melakukan evaluasi perizinannya dengan tegas,” kata Tomi. (*)