PADANG PARIAMAN, HARIANHALUAN.ID — Festival Galanggang Arang WTBOS 2024 #4 Kayu Tanam digelar 2 hari Jumat-Sabtu (19-20/7) di Stasiun Kereta Api Kayu Tanam dan kawasan Kantor Camat dengan konsep seni milik rakyat ini mengadopsi pola kerja penyelenggaraan alek nagari (pesta rakyat).
Kegiatan dengan mengutamakan keterlibatan masyarakat dalam proses, konten, dan pelaksanaannya ditutup pada sabtu malam yang dihadiri Direktorat pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek RI Yayuk Sri Budi Rahayu, Kepala Balai Pelestarian Budaya Wilayah III Prov Sumbar, Undri, Kadis Pendidikan Provinsi Sumbar, Barlius dan Bupati Padang Pariaman yang diwakili oleh Sekda, Rudy Repenaldi Rilis.
Direktorat pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Yayuk Sri Budi Rahayu dalam sambutannya menyampaikan Situs Tambang Batubara Ombilin ditetapkan sebagai warisan dunia.
“Tahun 2019 yang lalu, UNESCO telah menetapkan situs tersebut sebagai Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS),” ujar Yayuk Sri Budi Rahayu yang juga Ketua Tim Kerja kegiatan Event Penguatan Ekosistem Ombilin Sawahlunto Sebagai Warisan Dunia di stasiun kereta Kayu Tanam, Sabtu (20/07).
Yayuk Sri Budi Rahayu menyampaikan, penetapan ini dilatarbelakangi oleh sejumlah argumentasi yang menunjukkan nilai universal luar biasa dari pembangunan tambang batubara tersebut.
Dikatakan, tujuan utama dari pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk menumbuhkan dan menjaga warisan budaya yang terkait dengan WTBOS, terutama di nagari-nagari yang terhubung melalui jalur kereta api yaitu Kabupaten Solok, Kota Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang.
Terkait dengan hal tersebut, Yayuk juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Daerah Padang Pariaman, terutama anak nagari Kayu Tanam yang telah mendukung dan mensupport kegiatan ini dengan menampilkan berbagai kegiatan adat dan adat tradisi masyarakat setempat.
Sementara itu, Bupati Padang Pariaman yang diwakili oleh Sekretaris Daerah Rudy Repenaldi Rilis menyampaikan Galanggang Arang merupakan rangkaian kegiatan yang berjuang untuk mengaktivasi dan memperkuat ekosistem Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS).
Dikatakan, tempat pemberhentian kereta api Kayu Taman merupakan satu-satunya stasiun yang memiliki rel gigi dari 7 kabupaten/ kota yang dilalui kereta api WTBOS.
“Untuk itu, perlu peran serta masyarakat untuk merawat, memanfaatkan dan mensosialisasikan WTBOS yang dilalui jalur kereta api,” Ujar Rudy.
Ia berharap, Galanggang Arang Kayu Tanam yang ke 4 ini bisa mempertahankan warisan dunia dengan baik serta membidik potensi-potensi lain yang bisa dikembangkan dari berbagai sektor
“Semoga Gelanggang Arang tahun depan bisa mencetak rekor muri untuk gandang tambua tansa kureta mandaki yang melibatkan lebih banyak pemain dari komunitas seni se Kabupaten Padang Pariaman,” Ujar Sekda.
Di tempat yang sama, salah seorang kurator dan penanggung jawab kegiatan di Kayu Tanam, Mahatma Muhammad mengatakan, Galanggang Arang #4 Kayu Tanam dilaksanakan dengan konsep seni milik rakyat ini mengadopsi pola kerja penyelenggaraan alek nagari (pesta rakyat) dengan mengutamakan keterlibitan masyarakat dalam proses, konten, dan pelaksanaannya.
Selain itu, Mahatma Muhammad, menerangkan helatan Galanggang Arang #4 Kayutanam tahun kedua ini menggali lapisan-lapisan sejarah dan ingatan kolektif masyarakat yang kompleks di balik WTBOS, khususnya di Stasiun Kayu Tanam.
“Kita mendorong mesyarakat lebih apresiatif dan kritis dalam merawat, mengembangkan dan memanfaatkan properti WTBOS ini. Masyarakat dan komunitas anak nagari tidak cukup sebagai penonton, tapi harus terlibat aktif dalam penyelenggaraan helatan,” ujar Mahatma dalam sambutanya.
Galanggang Arang 2024 menyoroti konsep kuratorial yang sangat terkait dengan sejarah pembangunan industri pertambangan batubara di Sumatera Barat, yang dimulai pada akhir abad ke-19 oleh kolonial Belanda.
“Ke depannya, helatan budaya Galanggang Arang juga harus bertransformasi menjadi Alek Nagari yang berkelanjutan, yang dibutuhkan dan dikelola secara gotong royong oleh masyarakatnya kita sendiri,” terang Mahatma. (*)