“Namun demikian, kita juga tidak bisa menolak sistem pembelajaran di pesantren yang membatasi interaksi antara perempuan dan laki-laki. Ini baik, tapi ada juga sisi negatifnya,” ujarnya.
Erianjoni melihat bahwa pembatasan ruang antara perempuan dan laki-laki di pesantren seringkali disalahgunakan oleh beberapa oknum yang memiliki gangguan orientasi seksual. Kasus-kasus penyimpangan yang terjadi tersebut seharusnya menjadi alarm bagi pihak pesantren untuk meningkatkan kewaspadaan dan perlindungan kepada santri.
“Pihak pesantren harus lebih sering mengevaluasi gejala-gejala ganjil yang mulai terlihat, baik yang muncul dari santri maupun dari guru,” ucapnya.
Menurut Erianjoni, evaluasi rutin dan peningkatan kewaspadaan sangat penting untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang di pesantren. Selain itu, pengawasan yang ketat dan penerapan tes psikologis bagi calon tenaga kerja dan pendidik di pesantren dapat membantu mencegah masuknya individu yang berpotensi melakukan penyimpangan seksual.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan lingkungan pendidikan di pesantren dapat menjadi lebih aman dan nyaman bagi para santri untuk menimba ilmu dan beribadah tanpa rasa takut akan ancaman dari predator seksual. (*)