PADANG, HARIANHALUAN.ID – Pengamat Perilaku Menyimpang Universitas Negeri Padang (UNP), Dr. Erianjoni, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap meningkatnya potensi perilaku menyimpang di ranah pendidikan, baik di Sumatera Barat (Sumbar) maupun di seluruh Indonesia.
Menurutnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di pendidikan umum, tetapi juga menjalar hingga ke ranah pendidikan Islam, termasuk pondok pesantren.
Erianjoni menyatakan bahwa salah satu penyebab banyaknya perilaku menyimpang di pondok pesantren adalah pembatasan interaksi antara lawan jenis.
Baca Juga: Dua Orang Guru Pesantren di Agam Cabuli 40 Santri
Ia menjelaskan bahwa jika dipahami dari perspektif psikoseksual, pembatasan tersebut dapat menjadi salah satu penyebab kecenderungan homoseksual.
“Jika dilihat dari psikoseksual, pola-pola seperti itu akan memberi peluang terjadinya penyimpangan,” ujarnya kepada Haluan, Jumat (26/7/2024).
Lebih lanjut Erianjoni menjelaskan bahwa tingginya kasus kekerasan seksual dan perilaku menyimpang di pondok pesantren juga disebabkan oleh buruk dan rendahnya pengendalian seksual. Menurutnya, dalam teori psikoseksual, orang yang pernah menjadi korban kekerasan seksual lambat laun bisa menjadi pelaku.
“Ini merupakan penyakit menular. Pondok pesantren juga bisa menjadi lahan dan akses untuk menyalurkan penyimpanan homoseksual yang dilakukan oleh oknum,” katanya.
Jika ditelusuri jejak digital, kata Erianjoni, banyak kasus perilaku homoseksual yang terjadi di pondok pesantren. Hubungan yang terbangun antara para oknum tersebut adalah hubungan homogen yang orientasi seksualnya juga homogen.
“Namun demikian, kita juga tidak bisa menolak sistem pembelajaran di pesantren yang membatasi interaksi antara perempuan dan laki-laki. Ini baik, tapi ada juga sisi negatifnya,” ujarnya.
Erianjoni melihat bahwa pembatasan ruang antara perempuan dan laki-laki di pesantren seringkali disalahgunakan oleh beberapa oknum yang memiliki gangguan orientasi seksual. Kasus-kasus penyimpangan yang terjadi tersebut seharusnya menjadi alarm bagi pihak pesantren untuk meningkatkan kewaspadaan dan perlindungan kepada santri.
“Pihak pesantren harus lebih sering mengevaluasi gejala-gejala ganjil yang mulai terlihat, baik yang muncul dari santri maupun dari guru,” ucapnya.
Menurut Erianjoni, evaluasi rutin dan peningkatan kewaspadaan sangat penting untuk mencegah terjadinya perilaku menyimpang di pesantren. Selain itu, pengawasan yang ketat dan penerapan tes psikologis bagi calon tenaga kerja dan pendidik di pesantren dapat membantu mencegah masuknya individu yang berpotensi melakukan penyimpangan seksual.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan lingkungan pendidikan di pesantren dapat menjadi lebih aman dan nyaman bagi para santri untuk menimba ilmu dan beribadah tanpa rasa takut akan ancaman dari predator seksual. (*)