Hal ini akan membangun komunikasi dan rasa percaya anak untuk berbicara pada orang tua. Sehingga anak akan menceritakan apa yang terjadi dan ia rasakan dengan lugas.
Selain mengajak bicara, orang tua juga perlu mengajarkan norma, etika, dan pendidikan seksual pada anak sejak dini. Dahulu, hal ini mungkin hal tabu. Tapi, saat ini pendidikan seksual dapat diberikan dengan metode-metode menyenangkan dan sesuai usia anak. “Bisa kita temukan di YouTube atau di situs lainnya. Hal ini akan membentengi anak dari hal-hal yang tidak sesuai dengan norma,” ucapnya.
Di samping itu, membatasi media yang dapat ditonton anak juga hal yang wajib dilakukan. Namun, jika anak telah remaja, mereka tentu tidak bisa dikontrol 24 jam, terlebih suka mengerjakan aktivitasnya sendiri. Dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan, hal ini akan menjadi benteng bagi anak dalam memfilter media apa yang harus dan tidak harus diikuti.
Terkait dua fenomena di sekolah agama itu, Alfi menjelaskan, untuk sekolah yang kelasnya dipisah, tentu ini tetap memiliki sisi positif, apakah dari segi agama, perkembangan anak, dan pendidikan. Namun, karena anak remaja merupakan masa “badai” atau masa di mana keingintahuan tinggi, ada kecenderungan mudah dipengaruhi, ingin mandiri, cenderung ingin mencoba, dan sulit diberi nasehat.
Di sini anak perlu tahu (dan diberi psikoedukasi) mengenai hal yang boleh dan tidak boleh, yang boleh disentuh orang lain dan tidak, serta hal-hal yang berkaitan dengan masalah seksual. Dengan kata lain, orang tua sudah harus mulai terbuka dengan anak. Karena sekarang dengan media, semua hal pun terbuka disampaikan. Maka orang tua juga perlu membuka diri untuk membentengi anak dengan edukasi yang nyaman.
Alfi menjelaskan, untuk menindaklanjuti kasus ini, dapat dilakukan beberapa hal. Bagi pelaku, yang kemungkinan makan mencari korban lain atau melakukan hal serupa di waktu lainnya, perlu untuk dibawa ke ranah hukum, sesuai dengan undang-undang yang berlaku.