Merapal Peranan Mandeh Sako di Rumah Gadang dalam Balutan Festival Limpapeh

Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumatra Barat kembali menghelat  festival Limpapeh yang bertajuk Festival Matrilineal.

Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumatra Barat kembali menghelat  festival Limpapeh yang bertajuk Festival Matrilineal.

LIMA PULUH KOTA, HARIANHALUAN.ID – Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Sumatra Barat kembali menghelat  festival Limpapeh yang bertajuk Festival Matrilineal Kampung Adat Saribu Gonjong dengan tema “Man deh Sako di Rumah Gadang”. 

Dua unsur (mandeh sako dan rumah gadang) menjadi titik pijak untuk menyelami peranan keduanya yang sering dirujuk pada istilah “limpapeh”. 

Festival basis warga ini di kuratori oleh Afrizal Harun (Dosen ISI Padangpanjang dan Manajer Program Komunitas Seni Hitam-Putih) dan Oscar Oswandi (Praktisi Media dan Pegiat Budaya Lima Puluh Kota). 

Kepada BPK Wilayah III mereka menawarkan festival warga sebagai dasar penggerak kegiatan. Meski pengusungnya (festival warga) relatif tidak baru di Sumbar, tapi pentingnya konsep ini dihadirkan sebagai pintu gerbang untuk memetakan potensi Kampung Adat Saribu Gonjong yang berada di Jorong Sungai Dadok, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota tersebut. 

“Secara garis besar potensi di lokus Limpapeh: Festival Matrilineal Kampung Adat Saribu Gonjong ini adalah eksplorasi akan Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang dapat kita lihat dari seluruh aspek kebudayaan yang membentuknya. Lalu hal penting lainnya dari potensi ekonomi, sosial dan bahkan sumber daya manusia (SDM),” ujar Kurator Limpapeh, Afrizal Harun. 

Berangkat pada konsep “dari warga, oleh warga dan untuk warga” itu, BPK Wilayah III Sumbar bersama kurator melibatkan langsung warga jorong, nagari, kerapatan adat nagari (KAN) setempat, kecamatan hingga kabupaten untuk kemudian menjadi muatan materi dan konsep kegiatan Limpapeh: Festival Matrilineal Kampung Adat Saribu Gonjong yang bertemakan “Mandeh Sako di Rumah Gadang”. 

Afrizal Harun menjelaskan, “limpapeh” yang dimaksudkan pada kegiatan ini adalah peng analogian penekanan terhadap “tonggak tuo” (tiang tua) yang menjadi penentu utama dalam tumpuan beban berat sebuah rumah gadang agar berdiri tegak dan kokoh. 

Pun dalam kaitannya pada adat dan budaya Minangkabau, “limpapeh” lebih merujuk kepada perempuan Minangkabau yang beranjak dewasa untuk kemudian menjadi tumpuan tanggung jawab di dalam menjaga garis keturunannya, sebagaimana dalam turunan kekerabatan Minangkabau yang berpijak pada sistem matrilineal. 

“Kadang disebut juga “amban puruak” yang menandakan bahwa perempuan si limpapeh ini menguasai semua harta pusaka milik kaum, sehingga limpapeh itu disimbolkan dengan lambang kekuasaan di rumah gadang atau kaum yang semuanya itu diperankan oleh seorang bundo kanduang atau mandeh sako,” katanya. 

Inilah yang kemudian menjadi titik tolak hadirnya Limpapeh: Festival Matrilineal Kampung Adat Saribu Gonjong “Mandeh Sako di Rumah Gadang”. Meski dalam pengetahuan dasar telah dijelaskan, tapi melalui festival ini diharapkan dapat mengulik kembali nilai-nilai itu sebagai pengetahuan yang tetap berkelanjutan, di mana menjemput pengetahuan yang tertinggal itu dirasa perlu untuk bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya, terlebih bagi masyarakat setempat sebagai pelaku budayanya sendiri. 

Menggagas “Mande Sako di Rumah Gadang” Kampung Adat Saribu Gonjong yang terletak di Sungai Dadok Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunuang Omeh ini dikenal dengan istilah Kampuang Sarugo. 

Kampung adat ini merupakan kampung tertua di Nagari Koto Tinggi. Kampuang Sarugo ini memiliki 29 rumah gadang dengan lima gonjong yang berjejer rapi menyerupai posisi shaf salat dengan menghadap ke arah masjid. 

Rumah gadang dengan masjid ini juga menandakan keterhubungan yang erat antara adat dan agama. Rumah gadang yang berjumlah 29 itu juga terdiri dari 29 nama dengan ragam suku yang mendiaminya. Secara historis penduduk di Sungai Dadok ini merupakan pendatang yang berasal dari Maek, Baruah Gunuang, dan Sungai Naniang. 

Kampuang Sarugo masih memiliki sistem matriarkat yang kuat dalam penerapannya hingga kini. Sehingga kata “limpapeh” yang mengacu kepada bundo kanduang atau mandeh sako tetap menjadi lambang tertinggi dalam suatu kaum atau suku di Minangkabau. 

Pentingnya peranan bundo kanduang dalam Minangkabau setidaknya terlihat dari lima mamangan yang telah menjadi penurunan nilai dan tingkah laku bagi seorang perempuan di Minangkabau, yaitu “Limpapeh Rumah nan Gadang, Umbun Puruik Pagangan Kunci”, “Pusek Jalo Kumpalan Tali”, “Sumarak dalam Nagari”, dan “Ka Unduang-unduang ka Madinah, Ka Payuang Panji ka Sarugo”. “Prinsip dasar kelima ma mangan ini mengisyaratkan lambang kekuasaan di Minangkabau yang berada di bundo kanduang, mulai dari pengambilan keputusan, tanggung jawab dalam rumah gadang, dan beban lainnya. 

Artinya bundo kanduang adalah induk untuk mengatur segala yang bersifat pada suatu putusan hingga pada pendidikan dan karakter bagi generasinya,” jelas Afrizal Harun. 

Kemudian hadirnya “Mandeh Sako di Rumah Gadang” Limpapeh: Festival Matrilineal Kampung Adat Saribu Gonjong ini juga mengakar pada potensi-potensi Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang telah diinterpretasikan oleh masyarakat di Kampuang Sarugo tersebut. 

Dari pelaksanaan prosesi adat, Kampuang Sarugo masih memiliki prosesi adat batagak pangulu, baalua pasambahan, manjalang gogo, malope anak, dan mintak ayie sagontang. Prosesi adat yang masih berlangsung hingga kini tentu tidak akan terlepas dari peran bundo kan duang sebagai orang di balik layar dalam mempersiapkan prosesi adat yang ada. 

Tak hanya itu, Kampuang Sarugo juga memiliki kekayaan kuliner yang khas, ada limpiang layu layu, tumbuak maba, samba baluik dalam tampuruang, samba unja buluah, randang jangkang. 

Kemudian di Sungai Dadok juga ternama dengan jeruknya yang disebut JESIGO, karena daerah ini memiliki agrowisata jeruk. “Dalam hal aktivitas budaya, di sini ada kesenian khas seperti tari lansia Barabah Mandi, Tanjuang Katuang dan kesenian lainnya. Permainan anak nagarinya juga unik, ada pacu upiah, main ban-ban. Kerajinan Sungai Dadok juga menarik, yaitu kerajinan menganyam Kombuik yang terbuat dari bahan bambu dan akar kayu,” katanya.

“Bahkan di sini juga ada aktivitas budaya yang terbilang sudah langka dan sudah jarang dilaksanakan seperti manumbuak topuang, mairiak padi, mancari sikasiah, manggala, dan maanta siriah. Meski disayangkan, tapi setidaknya ada memori kolektif yang bisa kita jemput dari apa yang ada di Kampuang Sarugo ini,” jelas salah satu Kurator Limpapeh: Festival Matrilineal Kampung Adat Saribu Gonjong tersebut. (*)

Exit mobile version