PADANG, HALUAN — Pemerintah daerah wajib menempatkan kasus kekerasan seksual terhadap anak sebagai program strategis seiring kembali maraknya kasus tersebut. Terutama dalam menjadikan Sumatra Barat sebagai ranah yang ramah anak dengan zero case kekerasan seksual.
Pemerintah Provisi Sumatra Barat melalui Surat Edaran Gubernur Nomor 463/572/PHPA/DP3AP2KB-2021 juga sudah mewajibkan kabupaten/kota untuk menjadikan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak sebagai kegiatan strategis daerah. Kebijakan juga untuk menguatkan implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
“Kita berharap dengan langkah strategis yang diambil bisa menekan angka kekerasan seksual terhadap anak hingga zero accident,” ujar Kepala Biro Adpim Setdaprov Sumbar, Hefdi Selasa (30/11).
Dalam SE tersebut pemerintah kabupaten dan kota diminta meningkatkan anggaran untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak sebagai bentuk komitmen pemerintah daerah sesuai amanah undang-undang. Termasuk juga pemerintahan tingkat desa dan nagari untuk menggunakan dana desa dalam melaksanakan kegiatan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Hefdi menyebutkan, pemerintah daerah diminta untuk meningkatkan kearifan lokal dalam merespon kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap Anak dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Salah satunya dengan membentuk Komunitas Perlindungan Anak terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan Satuan Tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) untuk mendeteksi dini terhadap kasus kekerasan terhadap anak.
Hefdi mengatakan, salah satu poin penting dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak yaitu dengan membentuk tim aksi cepat tanggap, mulai dari tingkat kelurahan/nagari/desa, kecamatan, dan kabupaten/kota, dan membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di tingkat Kabupaten/Kota. Pemerintah daerah juga diintruksikan untuk menyediakan hotline service 24 jam untuk layanan pengaduan kasus kekerasan terhadap anak.
Pada program penanganan, Hefdi menambahkan, pemerintah kabupaten/kota harus menyedikan rumah perlindungan sebagai tempat penampungan sementara bagi para korban kekerasan seksual. Lalu dilengkapi dengan tenaga ahli untuk penanganan kasus kekerasan terhadap anak, seperti Psikolog, Psikiater, Advokat, Mediator, dan Konselor.
“Kemudian memperkuat koordinasi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak dengan pihak-pihak terkait di tingkat pusat, daerah maupun lembaga swadaya masyarakat atau organisasi masyarakat seperti MUI, NU, Nuhammadiyah, Majlis Ta’Lim,” ujarnya.
Kemudian dalam memudahkan proses penanganan kasus kekerasan seksual, pemerintah harus melaporkan kasus yang terjadi di kabupaten/kota melalui aplikasi Simfoni Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA).
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Quartita Evari Hamdiana menyebutkan, SE tersebut nantinya akan diatur lebih lanjut oleh pemerintah kabupaten/kota. Ia menekankan bahwa fokus dari aturan tersebut yaitu penanganan dan pencegahan.
“14 poin dalam surat edaran tersebut merupakan upaya dari penanganan dan pencegahan. Sebelumnya kabupaten/kota sudah banyak melakukan upaya-upaya agar pelaporan kasus serupa dapat dilakukan dan sekarang banyak laporan yang diterima,” ujarnya.
Selain membentuk unit perlindungan perempuan dan anak, Quartita juga mendorong pemerintah daerah untuk melibatkan komunitas-komunitas warga khususnya anak muda yang bergerak dalam isu perlidungan perempuan atau anak. Terutama dalam meningkatkan pengawasan dan mengedukasi masyarakat akan potensi atau bahaya dari kekerasan seksual.
“Salah satu upaya dengan membentuk semacam komunitas-komunitas yang implementasinya bahkan sampai ke RT, atau juga mereka membuat semacam relawan, aktivis-aktivis komunitas yang concert dengan isu ini,” katanya.
Kemudian, sambung Quartita, untuk dalam proses penanganan, korban akan diberikan pendampingan mulai dari aspek dukungan hukum serta pendampingan psikologis untuk membantu pemulihan trouma.
“Tidak hanya sampai situ, setelah proses pendampingan dan rehabilitasi perlindungan anak akan dialihkan ke negara termasuk dalam memenuhi kebutuhan sang anak,” ujarnya. (h/mg-dar)