Ada serentetan pertanyaan menggelitik yang diajukan sejumlah kalangan. Pertanyaan bernada satir dan nyaris ironis. Hari ini, masih perlukah surat kabar? Masih perlukah membaca koran? Masih perlukah menerbitkan media cetak?
Kendati satir, ironis dan bahkan menggetirkan, pertanyaan itu, saya pikir, logis dan lumrah. Di tengah kemudahan dan kelimpahan informasi yang beredar saat ini, banyak orang merasa tidak perlu lagi membaca surat kabar. Toh, beribu, berjuta, bahkan bermiliar informasi mendatangi, mengepung dan menyergap kita setiap hari.
Dalam era digital saat ini, nyaris setiap orang menjadi produsen informasi. Hanya berbekal satu telepon pintar, sat-set; ambil foto, rekam video, tulis sedikit narasi, lalu…wush! Informasi mengalir ke mana-mana. Distribusi informasi tidak hanya melalui media mainstream, online, siber, tapi juga lewat ragam sosial media dan di berbagai group percakapan.
Masuk akal, kalau hanya sekedar untuk mencari informasi tentang apa yang terjadi, agaknya surat kabar, tidak perlu lagi ada saat ini. Apalagi jika koran memuat artikel atau berita yang sudah banyak tayang di platform digital, untuk apa? Ketinggalan, bro! Cara mengonsumsi media hari ini telah banyak berubah. Oleh banyak generasi, media digital menjadi pilihan prioritas karena keterjangkauannya sangat luas dan biayanya relatif murah.
Pantas saja, statistik Search Engine Marketing (SEM) dan Search Engine Optimisation (SEO) tahun 2024 merilis, bahwa Google memproses lebih dari 8,5 miliar pencarian setiap hari. Itu setara dengan 6,3 juta per menit. Bayangkan!
Riset global Datareportal menunjukkan, ‘menemukan informasi’ adalah tujuan paling umum dalam menggunakan internet. Pengguna internet di Indonesia tahun 2024 berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023. Sekali lagi, bayangkan!
Digitalisasi dengan nyawanya internet, “makhluk” inilah yang menyebabkan disrupsi. Ratusan, bahkan ribuan media cetak di tanah air dan berbagai belahan dunia, gugur. Mati alias tidak terbit. Atau ganti platform ke digital. Jika ada surat kabar yang bertahan hari ini, nafasnya nyaris ‘kembang-kempis’. Megap-megap. Tiras anjlok. Iklan melorot. Tantangan media cetak hari ini, begitu teramat kompleks. Sangat berat, malah.
Dalam kondisi media cetak yang sangat tidak baik-baik saja itulah, Harian Haluan, Selasa kemarin, 1 Oktober 2024, memasuki usia 76 tahun penerbitannya. Alhamdulillah. Masih terbit.
Menurut saya, Haluan bukan hanya sekedar entitas bisnis media, tapi adalah juga ‘sejarah’. Adalah sebuah cita-cita untuk “Mencerdaskan Kehidupan Masyarakat.” Kehadirannya sejak 1948 senafas dengan kelahiran Provinsi Sumatera Barat yang hari jadinya ke-79 diperingati persis 1 Oktober 2024, kemarin. Harian Haluan, satu dari sembilan surat kabar pertama yang lahir pasca-kemerdekaan Republik Indonesia.
Lalu, kembali kepada rentetan pertanyaan di atas, masih perlukah surat kabar? Masih perlukah membaca koran? Masih perlukah menerbitkan media cetak? Atau, apakah karena hanya sekedar ‘sejarah’ belaka, Haluan mesti dipertahankan?
Supaya objektif menjawabnya, izinkan saya mengutip sejarawan dunia Yuval Noah Harari, pengarang buku laris “Sapiens”. Dia menyatakan,”informasi yang mengandung kejelasan akan menjadi kekuatan.” Kalau dibalikkan tafsirnya menyikapi tsunami informasi hari ini, bisa disimpulkan,”informasi yang tidak jelas, yang dangkal, bias, kacau bahkan palsu dan bohong akan menjadi kelemahan.”
Informasi bias, yang tidak terverifikasi bahkan menjurus pada kabar bohong dan fitnah, bisa menjadi virus yang daya rusaknya bisa lebih ganas lagi dari Covid-19. Masyarakat, publik, bangsa ini akan jadi tumpul karena logika dan nalarnya kacau atau bisa jadi hang akibat mengonsumsi informasi yang rusak itu.
Tokoh pers, Dewan Pers sampai Presiden berulang kali meminta agar surat kabar, media arus utama, bisa menjadi “clearing house”, rumah pembersih dan penjernih informasi yang berseliweran di ruang-ruang publik hari ini.
Produk pers dan surat kabar yang baik, dapat menjadi ‘vaksin’ untuk melawan dan melumpuhkan ‘virus’ informasi miskin kualitas. Termasuk mengimbangi serbuan relis yang hanya membangun citra positif dari lembaga atau atasan si pembuat relis, padahal realitasnya banyak yang perlu dikoreksi.
Surat kabar, fungsinya tidak hanya sekedar menginformasikan. Media arus utama harus memastikan fungsi-fungsinya berjalan sesuai yang termaktub dalam Pasal 3 ayat 1 dan 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, disamping juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Menghadapi disrupsi digital, jika mau tetap dipercaya, dicintai dan dibutuhkan oleh publik, tidak ada kata lain, surat kabar dan media arus utama harus mampu menjalankan perannya sebagai mana yang tercantum dalam Pasal 6 UU Nomor 40 Tahun 1999. Peran itu antara lain menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Tidak mudah memang, menjalankan fungsi dan peran tersebut. Ya, tidak semudah membaca dan mengutip pasal-pasal dalam UU Pers itu. Tapi, di sinilah indahnya. Jika kita tidak melalui kesulitan, mana tahu kita nikmatnya kemudahan. Bukankah pers hari ini adalah buah perjuangan pejuang-pejuang pers dari zaman sebelumnya? Dan itu, diraih dari berlapis-lapis kesulitan. Tidak hanya pikiran dan tenaga yang mereka korbankan. Tapi juga darah, dan bahkan nyawa.
Saya percaya, hari ini masih banyak pihak yang mendukung pers berkualitas. Sebab, produk pers yang baik, sesungguhnya bukanlah untuk kepentingan pers itu sendiri. Tapi, untuk publik! Masyarakat, pemerintah, daerah, negara dan bangsa ini, butuh pers berkualitas. Perlu informasi yang terverifikasi, teruji, akurat, mendalam dan komprehensif.
Begitulah, jika kita sepakat. Terjawab sudah pertanyaan di atas, bahwa hari ini, surat kabar masih perlu. Membaca koran, masih perlu. Redaksi media cetak punya waktu panjang dan saringan informasi berlapis. Mulai dari reporter, redaktur, redaktur pelaksana sampai pemimpin redaksi.
Terakhir, saya mengutip pernyataan Thomas Jefferson, Presiden Amerika Serikat ketiga yang terjemahannya sebagai berikut,”Jika saya harus memutuskan apakah kita akan memiliki pemerintahan tanpa surat kabar, atau surat kabar tanpa pemerintahan, saya tidak akan ragu untuk memilih yang terakhir (surat kabar tanpa pemerintahan).” Nah!* (*)