Ombudsman Soroti Lambannya Penanganan Korban Banjir Lahar Dingin

Kegiatan Ombudsman on the Spot Monitoring di Nagari Batabuah, Kabupaten Agam, Kamis (10/10). IST

Kegiatan Ombudsman on the Spot Monitoring di Nagari Batabuah, Kabupaten Agam, Kamis (10/10). IST

AGAM,HARIANHALUAN.ID — Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat (Sumbar) menyoroti masih lambannya penanganan korban banjir lahar dingin Gunung Marapi yag melanda sejumlah kabupaten/kota di Sumbar pada Mei 2024 lalu. Ombudsman juga menemukan masih banyak korban yang belum menerima bantuan.

Hal tersebut terungkap saat kegiatan Ombudsman on the Spot Monitoring di Nagari Batabuah, Kabupaten Agam, Kamis (10/10). Plt Kepala Ombudsman Sumatera Barat, Adel Wahidi mengatakan, pihaknya banyak menerima keluhan dari masyarakat terkait belum tersalurkannya dana bantuan untuk korban banjir lahar dingin, bahkan korban erupsi Gunung Marapi yang terjadi akhir tahun lalu.

“Kami menemukan bahwa dana bantuan masih banyak yang belum terpakai. Data penerima masih dalam proses verifikasi publik. Sampai saat ini belum ada Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah (pemda). Dengan kata lain, masyarakat baru menerima secara simbolis, tapi bantuan riilnya sampai sekarang belum sampai ke tangan masyarakat,” katanya.

Ia mengungkapkan bahwa lambannya pencaiaran bantuan untuk korban banjir lahar dingin ini tak terlepas dari lambatnya penyelesaian dokumen-dokumen penting milik warga yang rusak atau hilang akibat bencana, seperti KTP, kartu keluarga, ijazah, sertifikat tanah, dan lain sebagainya.

Ia menegaskan bahwa pelayanan publik pascabencana seharusnya dilakukan dengan metode jemput bola, di mana petugas datang langsung ke warga terdampak, bukan sebaliknya. “Bbutuh layanan afirmatif dengan metode jemput bola. Bagaimana mungkin warga yang jelas-jelas menjadi korban bencana akan memikirkan di mana dokumennya saat musibah terjadi. Korban tidak harus datang ke tempat pelayanan, sebaliknya pemda atau instansi yang berwenang yang harus mendatangi,” katanya.

Ia menegaskan, untuk semua program infrastruktur dan bantuan itu, minimal masyarakat terdampak bencana mendapatkan informasi memadai tentang bantuan yang seharusnya mereka terima. Harus ada kepastian kapan layanan itu didapat masyarakat.

Padahal sudah ada program strategis dari pemerintah pusat dan Presiden untuk sawah, rumah, sekolah, jembatan, dan seterusnya. “Tapi kapan diterima masyarakat, ini yang harus dijelaskan dan diketahui warga. Kami dalam hal ini mendorong penyelesaiannya,” katanya.

Ia mencontohkan bantuan Rp 11 miliar untuk cetak sawah atau penambahan lahan baru yang hingga saat ini terkendala masalah teknis di Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (Distanhorbun) Sumbar.

“Info yang kami terima, Rp 11 miliar untuk cetak sawah dari provinsi masih dalam tahapan teknis. Kami minta agar dipercepat. Warga jangan sampai kehilangan kepercayaan kepada pemerintah,” ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Distanhorbun Sumbar, Febrina Tri Susila Putri menyebutkan, akibat erupsi dan banjir bandang Gunung Marapi lahan pertanian seluas 2.158,30 hektare di Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Padang Panjang ikut terdampak.

“Sebelumnya Menteri Pertanian (Mentan) sudah turun. Lalu kami menindaklanjutinya dengan mendata secara detail lahan pertanian yang terdampak. Setelah itu Mentan menyatakan akan membantu pemulihan lahan pertanian dengan anggaran Rp33,34 miliar,” katanya, beberapa waktu yang lalu.

Ia menjelaskan, anggaran dari Kementan tersebut diperuntukkan bagi bantuan berupa bibit, pupuk, dan lainnya itu senilai Rp23 miliar. Sedangkan sisanya sebesar Rp10 miliar lebih dialokasikan untuk reklamasi lahan yang rusak akibat bencana alam. “Posisi saat ini untuk anggaran dari Kementan itu, khusus untuk berupa bibit, pupuk, dan lainnya lagi on going,” katanya.

Ia berharap kepada petani untuk tetap bersabar, karena realisasi bantuan dari Kementan tersebut memang membutuhkan beberapa syarat, agar bantuan jelas peruntukannya. Bencana alam yang terjadi memang sedikit banyaknya berdampak kepada produksi padi di Sumbar.

Terkait adanya gangguan produksi padi akibat bencana alam itu, Pemprov Sumbar sudah melakukan upaya pemanfaatan lahan yang bisa diolah untuk ditanami padi. Dia mengaku belum mengetahui secara pasti luas lahan yang baru ditanam padi itu, tapi diperkirakan dapat mengisi kekosongan jumlah produksi yang sempat terganggu akibat bencana alam.

“Beruntung kami sudah melakukan upaya lain agar produksi tidak terganggu, yakni mengolah lahan yang bisa ditanam padi. Kawasannya tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Sumbar,” ujarnya.

Diketahui, Pemprov Sumbar mengajukan kebutuhan penanganan dan pemulihan dampak bencana kepada Kementan, yakni untuk padi yang terdampak luasnya 4.416,64 hektare dan luas itu turut terjadi puso seluas 725,05 hektare.

 “Jumlah ini tidak hanya di Agam, Tanah Datar, dan Padang Panjang. Tapi juga untuk daerah lainnya yang juga terdampak bencana pada Maret 2024 di Kabupaten Pesisir Selatan. Jadi pengajuannya digabung saja,” kata Rina.

Lalu, untuk jagung luas lahan yang terdampak mencapai 1.098,28 hektare dan mengalami puso 320,45 hektare. Kemudian, cabai merah juga turut merasakan dampak bencana dengan luas 155,10 hektare dan terjadi 32,38 hektare. Selanjutnya, untuk bawang merah lahan yang terdampak 32,60 hektare dan yang mengalami puso 9,00 hektare. Termasuk untuk sayuran lainnya yang tercatat terdampak seluas 268,55 hektare dan yang mengalami puso 93,50 hektare.  “Jadi total lahan yang terdampak itu tercatat 5.971,08 hektare dan kondisi pertanian yang mengalami puso mencapai 1.180,39 hektare,” ujarnya. (*)

Exit mobile version