PADANG, HARIANHALUAN.ID — Tepat pada momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda Ke-96 ini, masih banyak yang mempertanyakan bagaimana kontribusi pemuda hari ini untuk pembangunan di Sumatera Barat (Sumbar). Lebih-lebih di tengah tantangan zaman yang terasa kian berat.
Tentu di era yang serba praktis ini, banyak hal dan cara yang bisa diakses dengan mudahnya oleh tangan pemuda hari ini. Namun, pelangkahan pemuda Sumbar masih belum terlihat dan bahkan mungkin belum dirasakan sepenuhnya.
Secara sumber dan referensi yang jelas, memang tentang pelangkahan pemuda tidak begitu menonjol, sehingga apa yang diperbuat dan apa yang telah diberikan pemuda Sumbar hari ini belum sepenuhnya terlihat. Yang jelas, pemuda akan selalu dihadapkan dengan berbagai tantangan-tantangan. Baik muruah pemuda saat mencetuskan pergerakan bangsa dan negara ini, kata tantangan tetap menjadi hal utama yang dihadapinya.
Dilihat dengan dunia yang serba praktis ini, justru semangat dan pergerakan dari pemuda Sumbar hari ini seperti lesu di permukaan. Secara tantangan, pemuda pada dasarnya tetap dihadapkan pada dua hal, yakni ruang dan ketidakpercayaan penuh yang diberikan.
Hal ini seperti yang diutarakan Pengamat Budaya Universitas Negeri Padang (UNP), Erianjoni. Ia menyebutkan, lesunya semangat anak muda dalam menggaungkan budaya sehingga tidak mendapatkan ruang dan panggung dikarenakan kurangnya spirit kedaerahan, di mana pemuda tidak mengakar dan tumbuh dengan budaya lokal.
“Pemuda saat ini kebanyakan mengakar dengan budaya luar yang ada di media sosial, seperti gaya hidup sampai menjadi pengikut segala tren sehingga semangat berbudaya lokal sudah berkurang karena mereka merasa tidak lagi ada keterikatan dengan budaya lokal tersebut,” katanya kepada Haluan, kemarin.
Pengaruh budaya luar yang kental di media sosial mengakibatkan rendahnya peran dan partisipasi pemuda mengembangkan potensi diri dalam mengembangkan budaya sendiri, sehingga budaya tradisional sudah mulai tergerus dan terhimpit oleh budaya luar.
“Banyak sekali giat tradisional yang bisa diikuti, dikembangkan, dan dibesarkan oleh pemuda saat ini. Apalagi, saat ini perkembangan jumlah anak muda semakin banyak. Namun sangat disayangkan, kegiatan tersebut sudah mulai terlupakan. Bahkan ada pemuda yang tidak tahu dengan giat tradisional yang ada,” tuturnya.
Ia menuturkan, rendahnya daya dukung dari pemerintah atau tokoh masyarakat turut menjadi andil atas lesunya semangat berbudaya oleh anak muda saat ini, karena masyarakat saat ini terus-terusan terpedaya dengan hedonisme dan menganggap budaya merupakan hal yang kuno.
“Masyarakat kita kebanyakan sudah termakan dengan budaya instan yang akhirnya mengikis budaya kita secara perlahan, seperti dalam bertutur kata, bersopan-santun, dan sebagainya. Budaya ini mulai ditinggalkan, dan pemuda bergeser pada budaya yang bahkan tidak pantas menjadi panutan. Banyak sekali giat kebudayaan yang sudah ditinggalkan saat ini, sehingga nilai-nilai dari kegiatan tersebut juga turut tenggelam dengan semangat anak muda dalam menghidupkan kebudayaan,” kata Erianjoni.
Rendahnya daya dukung dari pemerintah maupun tokoh masyarakat, menurutnya menjadikan tidak adanya keberlanjutan dalam membina dan menumbuhkan minat budaya kepada anak muda. Seringkali saat ini pengetahuan mengenai budaya hanya disajikan ala kadarnya melalui pendidikan di sekolah.
“Minimnya ketertarikan anak muda terhadap budaya merupakan gambaran dari ketidakseriusan pemerintah dalam mengembangkan kebudayaan. Tidak ada lagi pekan budaya besar-besaran di daerah kita ini membuat ketertarikan itu sedikit demi sedikit tergerus. Yang ada hanya sekadar lomba. Habis lomba, ya habis. Ini yang mengakibatkan pemuda hari ini tercerabut dari akar budayanya,” tutur Erianjoni.
Krisis kebudayaan akan berkesinambungan terhadap pembunuhan karakter yang pada akhirnya meredupkan ruang dan panggung bagi anak muda sehingga tidak ada lagi minat karena anak muda merasa tidak ada tempat bagi mereka.
“Oleh karena itu, saya pikir, keterkaitan antar lembaga sangat penting untuk memasifkan gerakan kecintaan terhadap budaya. Terlebih lagi sekarang ada Kementerian Kebudayaan. Kita menunggu gebrakan baru untuk mendongkrak nilai-nilai budaya yang mulai redup serta membangkitkan geliat budaya ini kembali tumbuh di tengah-tengah anak muda,” kata Erianjoni.
Di sisi lain, menurut pengamat kepemudaan Universitas Negeri Padang, Reno Fernandes, pemuda yang tumbuh dalam gelimang teknologi yang sangat mumpuni saat ini justru tidak lagi relevan jika dihubungkan dengan ruang atau panggung, karena di zaman sekarang, karena semua orang terutama anak muda memiliki akses terhadap peluang yang memungkinkan mereka untuk maju dan berkembang.
“Zaman teknologi informasi seperti saat sekarang ini seharusnya tidak ada lagi alasan untuk anak muda tidak melakukan gebrakan. Tidak ada itu yang namanya tidak ada ruang atau panggung. Bahkan, jika mereka bisa memanfaatkan peluang, mereka akan mampu menciptakan panggung mereka sendiri,” ujar Reno.
Permasalahan utama yang dihadapi anak muda pada saat ini bukanlah menyoal tidak adanya ruang, namun rendahnya literasi teknologi informasi yang yang mereka miliki, sehingga seringkali teknologi yang semakin lama semakin canggih tersebut disalahgunakan atau disia-siakan begitu saja.
“Rendahnya literasi menjadi masalah utama bagi anak muda kita. Ditambah lagi hal-hal yang dibutuhkan di abad ke-21, seperti critical thinking skill dan creative and innovative thinking, kemampuan berkolaborasi itu tidak terjadi. Ini membuktikan adanya masalah serius dalam institusi pendidikan,” katanya.
Lesunya semangat anak muda hari ini merupakan gambaran lemahnya gebrakan pemerintah dalam melakukan transformasi pada institusi pendidikan. “Fakta yang ada sudah menjelaskan betapa anak muda tidak mampu untuk memberanikan diri berpikir kritis. Apa yang terpampang nyata saat ini di tengah-tengah anak muda, krisis moral, tawuran, dan kenakalan remaja lainnya merupakan sebuah contoh bahwa pendidikan saat ini tidak dalam level baik-baik saja,” tuturnya.
Pemuda saat ini tidak kekurangan ruang atau panggung, melainkan kurangnya daya dukung dari pemerintah pada institusi pendidikan. Maka dari itu, membenahi anak muda tidak bisa dimulai dari anak muda itu sendiri, tapi bisa dimulai dari akarnya, yaitu pemerintah. Pemerintah harus giat dan fokus membenahi ranah pendidikan sehingga anak muda kita juga mampu dan kuat menghadapi abad ke-21 ini.
Pendidikan merupakan ujung tombak untuk anak muda bisa maju dan berkembang, terlebih pada era yang sudah tidak lagi sederhana ini. Literasi dalam segi apapun harus ditingkatkan agar kepercayaan diri anak muda juga bisa terbentuk sedemikian rupa.
“Krisis pengetahuan seringkali membuat anak muda saat ini menjadi pribadi yang malas. Kenapa demikian? Karena mereka tidak tahu apa yang mereka mampu, mereka tidak punya skill yang bisa mereka banggakan, mereka krisis wawasan. Akhirnya apa yang terjadi? Terbentuklah anak muda yang kaku, tidak mau tahu tentang perkembangan teknologi, tidak mau tahu apa yang tengah terjadi saat ini,” katanya.
Oleh karena itu, dirinya berharap Sumpah Pemuda menjadi momentum bagi anak muda untuk membangkitkan semangat kepemudaan yang sudah mulai layu, mengasah kualitas diri agar tak terkikis oleh zaman, serta memperkuat pundak untuk siap melakukan gebrakan baru.
“Anak muda jangan lengah, jika anak muda saat ini merasa tak ada tempat untuk menunjukkan kemampuan diri, maka jalan satu-satunya yaitu memupuk semangat juang, jangan jadi pemuda yang loyo, ciptakan panggung sendiri karena akses menuju ke sana saat ini sangat luas sekali,” tutur Reno. (*)