Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikit pun juga. (HR. Tirmidzi). Sementara dengan bersedekah akan membantu mereka yang lemah. Imam Syafi’i berkata: “Aku sangat senang ketika melihat ada yang bertambah semangat mengulurkan tangan membantu orang lain di bulan Ramadan karena meneladani Rasulullah SAW, juga karena manusia saat puasa sangat-sangat membutuhkan bantuan di mana mereka telah tersibukkan dengan puasa dan shalat sehingga sulit untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Contoh ulama yang seperti itu adalah Al-Qadhi Abu Ya’la dan ulama Hambali lainnya.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 301)
Puasa melatih diri menjadi orang yang peka sosial. Ketika dia merasa lapar dan dahaga akan menimbulkan sikap mental untuk merasakan orang lain yang lapar. Anjuran untuk memperbanyak kebaikan dan sedekah pada bulan Ramadan juga akan meningkatkan ketrampilan sosial seseorang. Empatik dan simpatik pada penderitaan orang lain. Dia akan berusaha hamba yang bukan berada di singgasana, tetapi yang berada di akar rumput, sebagaimana kata Antonio Gramsci. Inilah inti dari kecerdasan emosional, yang selama ini tenggelam di wacana publik, karena segala ukuran kecerdasan hanya diukur dari cerdas intelektual (IQ).
Ramadan menjadi kawah candradimuka anak bangsa ini untuk naik kelas. Menjadi manusia baru yang unggul, manusia yang lurus dan bermakna. Salah satunya dengan peningkatan empati-simpati dan kepekaan social. Para ulama dan cerdik cendekia sering mengistilahnya bahwa Ramadan adalah madrasah terbaik untuk membangun solidaritas (ukhuwah) Islamiyah, wathaniyah, dan insaniyyah. Wallahu a’lam bi al-shawab. (*)