Oleh: Muhammad Nazri Janra (Dosen Departemen Biologi Fakultas MIPA Unand)
Peringatan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April secara selebrasional memang nyaris menyerupai perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh pada 17 Agustus setiap tahunnya.
Betapa tidak, pada kedua hari tersebut biasanya selalu diiringi dengan iven pawai, lomba pakaian adat, kostum, sampai kegiatan seremonial meriah lainnya. Kemeriahan ini tentunya sedikit banyak juga mempengaruhi sudut pandang mereka yang berpartisipasi di dalamnya, terutama menyangkut tentang apa dan siapa yang diperingati pada hari tersebut.
Apalagi jika mereka yang memperingati tersebut masih duduk di bangku sekolah di mana penerimaan mereka terhadap semua hal-hal selebrasi tersebut masih belun diiringi dengan kemampuan critical thinking-nya dalam bersikap.
Sebenarnya seruan untuk mengkaji ulang signifikasi Hari Kartini pada 21 April ini sudah banyak diusung oleh berbagai pihak. Alasannya simpel saja, karena apa yang dilakukan oleh seorang Kartini sebenarnya jauh sangat kecil dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh banyak pahlawan-pahlawan perempuan yang ikut berjuang untuk kemerdekaan republik ini.
Sejauh ini yang bisa digali dari seorang Kartini dan dianggap sebagai bentuk perjuangannya adalah dokumentasi korespondensi (surat menyurat) dengan sahabat penanya yang merupakan orang-orang Belanda (Rosa Abendanon, H.H. van Kol, MCE Ovink atau Stella Zeehandelaar). Korespondensi tersebut pun lebih banyak berisi “curhatan” Kartini mengenai kehidupan sehari-harinya yang menjadi istri keempat dari seorang ningrat bernama Raden Adipati Joyodiningrat. Dokumentasi korespondensi inilah yang kemudian hari diterbitkan oleh keturunan sahabat pena Kartini tersebut untuk kemudian dijadikan salah satu landasan pengangkatan Kartini sebagai pahlawan nasional.
Kalau kita mau jujur, sebenarnya sangat sedikit sekali faedah dari apa yang dilakukan Kartini untuk kemerdekaan bangsa ini. Apa yang dilakukannya pun juga terbatas bagi mereka yang memiliki privilege dari kaum ningrat pribumi dan tidak mungkin diakses oleh kaum kebanyakan ketika itu yang justru lebih banyak tertindas oleh penjajahan Belanda, bangsa dari sahabat pena Kartini tersebut. Bahkan bisa saja kita menduga jika kemauan para sahabat pena tersebut untuk berkomunikasi via surat menyurat karena saat itu sedang gencarnya “politik balas jasa” yang digaungkan oleh sebagian bangsa Belanda yang mulai merasa “bersalah” atas overeksploitasi yang dilakukan oleh bangsa mereka terhadap Nusantara dan wilayah jajahan lain mereka.
Juga kalau kita masih mau jujur, aktivitas korespondensi Kartini tidak sampai seujung kuku dari apa yang dilakukan oleh para “singa betina” Nusantara di era perjuangan kemerdekaan seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Siti Manggopoh, dan Martha Christina Tiahahu yang mengangkat senjata secara langsung, atau Rohana Kudus dan Rahmah El Yunusiyah yang lebih bergerak di bidang pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa. Atau juga dengan para perempuan pembela kemerdekaan seperti H.R. Rasoena Said.
Kegiatan surat menyurat Kartini tidak begitu bermanfaat untuk kondisi bangsa ketika itu dibanding dengan upaya wanita sedaerah dan semasa dengannya seperti Nyai Siti Walidah Ahmad Dahlan atau Dewi Sartika yang justru terjun langsung ke tengah umat melakukan kegiatan pendidikan yang bertujuan akhir membuat anak bangsa menjadi melek dan cerdas.
Ada dugaan bahwa penunjukkan Hari Kartini ini berikut dengan segala pernak-pernik kemeriahan peringatannya merupakan bentuk upaya terselubung untuk mengaburkan besarnya peranan banyak wanita pejuang lainnya. Ini sangat mungkin dilatarbelakangi oleh faktor-faktor kontraproduktif seperti perbedaan etnisitas atau agama dari para pahlawan perempuan tersebut atau pun pandangan politik kontemporer tertentu yang tidak menghendaki kesetaraan pengakuan untuk semua pahlawan yang telah berjuang terutama mereka yang bergender perempuan.
Terlepas dari benar tidaknya hal tersebut, kesenjangan pengakuan terhadap banyak pahlawan perempuan tanah air ini oleh generasi sekarang memang tidak pelak diakibatkan minimnya ekspos terhadap mereka dan perjuangan yang telah mereka lakukan untuk bangsa. Rasanya kurang adil saja, saat para pahlawan (termasuk yang perempuan) tadi berjuang langsung di lapangan entah dengan tenaga, harta, bahkan nyawanya sangat sedikit sekali yang dikenang dari mereka dewasa ini terlepas dari keikhlasan mereka untuk berjuang tanpa mengharapkan balasan apapun. Terkalahkan oleh sosok yang mungkin peranan dan sumbangsihnya terhadap perjuangan bisa dianggap minim.
Tulisan ini tidak ingin secara ekstrem untuk mengutuk Kartini, mengingat mungkin ada sumbangsih tertentunya yang tidak diketahui sama sekali, pun juga pengangkatan Hari Kartini itu sendiri terjadi jauh setelah beliau wafat. Yang mungkin kita lakukan sekarang adalah menggunakan momen Hari Kartini itu sendiri sebagai titik tolok untuk mengeksplorasi lebih jauh lagi banyak wanita-wanita tangguh yang perjuangannya sungguh besar terhadap bangsa ini. Untuk kemudian mengangkat cerita perjalanan hidupnya dan mengambil manfaat sebagai pelajaran untuk ke depannya, agar bangsa kita ini tetap menjadi bangsa yang menghargai para pahlawannya dan menggunakan semangat perjuangan tersebut untuk dapat terus berkarya memajukan negeri. (*)