Kendatipun suku bunga BI bisa diturunkan 0.25 basis, dari 5 persen menjadi 4,75 persen, kredit yang ditawarkan masih harus lebih tinggi dari landing rate-nya BI. Katakan Bank ambil untung plus biaya administrasi sekitar 4,5-5 persen, maka suku bunga yang berlaku real masih pada kisaran 10 persen.
Jika saja inflasi masih pada kisaran 4 persenan per tahun, maka setidaknya bisnis yang dikelola mesti memperoleh keuntungan sebesar 20 persen, agar margin laba net sebesar 6 persen. Sungguh untuk memperoleh laba usaha sebesar 20 persen, pada masa sekarang banyak tantangannya.
Purbaya seharusnya tidak sendirian melakukan upaya untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi. Beliau perlu mengganggu cara berpikir menteri-menteri lainnya secara bersama untuk menggerakkan seluruh komponen pembangunan.
Masih banyak urusan dimana komponen ekspor (X) dan impor (I) yang diperlukan agar peranan perdagangan luar negeri memperkuat ekonomi Indonesia. Tapi sektor ini masih sepi sepi saja untuk dikelola lebih efektif lagi, usai Trump menetapkan tarif sepihak untuk ekspor Indonesia.
Saya masih meragukan jika Purbaya tidak memberikan masukan akan kebijakan MBG yang cukup besar menyerap dana. Karena program nasional sudah terlanjur disampaikan, namun kesiapan penyerapan dana dan manajemen masih tidak sebanding dengan seharusnya yang perlu dilakukan.
Rencana pemotongan dana daerah untuk tahun 2026 misalnya, sebesar Rp300 triliun dari tahun 2025, sebenarnya akan membuat pemerataan pertumbuhan terganggu. Kenapa? Karena alokasi dana MBG itu tidak seideal praktik manajemennya dan akuntabilitas serta efek pertumbuhan ekonomi untuk pemerataan masih tetap diragukan.
Jadi pada sisi program Presiden, Purbaya sepertinya sedang main catur dan langkahnya tidak nampak seperti langkah penarikan dana Rp200 triliun dari BI. Apakah Purbaya berhasil? Lihat saja menjelang akhir tahun atau kuartal keempat ini, apakah bisa dikejar ketertinggalan?