Penulis: Septi Mayang Sarry, M.Psi., Psikolog
Program Studi Psikologi, Departemen Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas
Kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi bencana Megathrust tidak hanya berbicara mengenai siap siaga secara fisik dan infrastruktur. Kesiapsiagaan psikologis Masyarakat juga merupakan hal yang penting untuk mendapatkan perhatian dari berbagai pihak.
Kota Padang saat ini sedang menghadapi isu megathrust dikarenakan lokasinya yang berada pada salah satu zona rawan tsunami dan gempa bumi akibat aktivitas subduksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Potensi gempa megathrust dengan kekuatan di atas 8 SR telah menjadi perhatian serius pemerintah kota Padang dan para peneliti. Simulasi nasional yang digelar oleh Kementerian Kesehatan pada September 2025 di Lapangan Imam Bonjol, Padang, menegaskan urgensi kesiapsiagaan lintas sektor khususnya rumah sakit untuk siaga menghadapi kemungkinan terburuk. Selain itu, rencana Walikota, Fadly Amran, akan melakukan simulasi besar menghadapi gempa bumi yang berpotensi tsunami pada tanggal 5 November 2025 pukul 10.00-selesai kepada kurang lebih 200.000 warga kota Padang yang berada di zona merah tsunami yaitu 55 kelurahan di 8 kecamatan yaitu Koto Tangah, Padang Barat, Padang Timur, Bungsus Teluk Kabung, Nanggalo, Padang Selatan, Padang Utara, dan Lubuk Begalung.
Menurut UU No. 24 tahun 2007, Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.” Artinya, bahwa bencana akan bisa juga mengakibatkan timbulnya dampak psikologis pada penyintas bencana. Berbagai gejala-gejala psikologis yang menunjukkan adanya perubahan psikologis mulai dari rentang normal untuk situasi yang tidak normal hingga menjadi gangguan kesehatan mental yang lebih serius sehingga memerlukan intervensi dari profesional kesehatan mental. Cukup banyak gangguan psikologis yang bisa terjadi pada penyintas bencana seperti Acute Stress Disorder, Post Traumatic Syndrome Disorder, Adjustment Disorder, Anxiety Disorder, Major Depressive Disorder dan munculnya Prolonged Grief Disorder (DSM V-TR).
Kesiapsiagaan psikologis juga dibutuhkan untuk menghindari terjadinya panik massal yang akan memperkeruh suasana yang bahkan mengakibatkan korban jiwa dan kerugian menjadi lebih besar dari yang seharusnya. Selain itu, berdasarkan pengalaman gempa besar yang pernah terjadi di Indonesia seperti Gempa Lombok dan Gempa Palu mulai munculnya ketidakpastiaan informasi berupa berita bohong yang sangat mudah tersebar melalui aplikasi media sosial atau chat group yang berakibat pada bertambahnya kecemasan yang dialami oleh masyarakat sehingga akan sulit untuk berpikir jernih.
Untuk itu, melalui penelitian dengan skim Penelitian Dosen Pemula (didanai oleh Dana DIPA Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Tahun 2025) kepada sebanyak 418 masyarakat yang tinggal pada 8 kecamatan yang berlokasi dekat dengan pesisir Pantai Kota Padang. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk melihat gambaran kesiapsiagaan psikologis dan gambaran psikologis masyarakat pesisir pantai menghadapi Megathrust. Kesiapsiagaan psikologis terhadap bencana diukur pada individu yang berada pada kategori young adulthood. Partisipan penelitian diminta untuk mengisi lembar persetujuan terlebih dahulu (informed consent), identitas pribadi, pertanyaan demografi, pertanyaan terbuka terkait gambaran psikologis terhadap isu megathrust dan mengisi skala Psychological Preparedness for Disaster Threat Scale (Zulch, 2019). Kesiapsiagaan diartikan sebagai sebagai keadaan kesadaran, antisipasi, dan kesiapan yang tinggi untuk ketidakpastian dan gairah emosional dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya ancaman; respons psikologis seseorang terhadap situasi ancaman yang sedang berkembang; dan kemampuan untuk mengelola tuntutan situasi tersebut. Psychological preparedness merupakan perpaduan antara aspek kognitif dan afektif. Aspek kognitif mencakup pengetahuan tentang situasi ancaman dan risiko bencana, sementara aspek afektif melibatkan kesadaran diri dan regulasi emosi (Boylan & Lawrence 2020).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bawah sebanyak 58.9 persen masyarakat pesisir Pantai kota Padang memiliki kesiapsiagaan dalam kategori sedang yang artinya bahwa mereka sudah berada pada posisi transisi antara belum siap menuju siap, sudah tahu resiko namun upaya kesiapsiagaan masih belum dilakukan secara konsisten, dan bukan berarti tidak memiliki kerentanan psikologis seperti kecemasan. Sementara itu, berdasarkan pertanyaan terbuka yang diberikan diketahui bahwa mereka merasa yakin akan mampu menyelamatkan diri karena menganggap keselamatan itu dari tuhan, karena kemampuan diri, dan karena adanya pengetahuan akan kesiapsiagaan yang dimiliki. Hanya saja, pengetahuan mereka mengenai megathrust lebih kepada sesuatu atau peristiwa yang yang ditakuti (secara emosional) dari pada megathrust sebagai konseptual atau dipahami secara ilmiah. Mayoritas responden mengetahui kalau risiko bencana itu besar, tapi masih banyak yang belum tahu tindakan yang mau dilakukan. Sementara itu, secara emosional mereka merasakan takut, cemas, dan panik sebagai jawabannya yang dominan dan diikuti dengan jawaban tidak tahu. Hal ini dikarenakan mereka menyadari bahwa bencana ini sulit diprediksi dan dikendalikan Disisi lain, mereka masih memilih untuk tetap tinggal di lokasi pesisir pantai karena tetap beranggapan bahwa rumah mereka jauh dari garis Pantai, sudah merasa nyaman dan lokasi rumah yang dianggap strategis.
Untuk itu disimpulkan berdasarkan hasil penelitian masih diperlukan untuk membangun kesiapsiagaan psikologis pada Masyarakat pesisir Pantai Kota Padang agar bisa membekali masyarakat dengan pengetahuan, keterampilan, dan dukungan emosional untuk menghadapi, merespons, dan pulih dari bencana secara sehat dan adaptif. Kemampuan untuk tetap tenang, berpikir jernih, dan mengambil keputusan tepat dalam situasi krisis merupakan komponen vital yang sering terabaikan. Perlu peran dari berbagai pihak untuk melakukan simulasi berbasis emosi, edukasi pengelolaan emosi negatif, pelatihan Psychological First Aid (PFA) bagi first responders, kegiatan edukatif psikologi lainnya serta membuat layanan informasi satu pintu agar terpercaya dan terhindar dari potensi penyebaran berita bohong yang akan menambah kecemasan di kalangan Masyarakat. (*)










