Keterbukaan Publik yang Masih Sebatas Angan-Angan

Fauzi

Muhammad Fauzi (Wartawan Haluan)

Oleh: Muhammad Fauzi (Wartawan Haluan)

Terwujudnya pemerintahan yang menjalankan prinsip-prinsip good governance, merupakan salah satu tujuan dari dirumuskan dan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 14 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Asbabun Nuzul melahirkan undang-undang tersebut tentu tidak terlepas dari keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana yang pernah merajelela dalam lanskap kepemimpinan Indonesia pada Orde Baru.

Melalui perumusan undang-undang tersebut, jalannya roda kekuasaan yang dilakukan oleh mereka yang disebut sebagai trias politica oleh John Lock dalam sebuah negara demokrasi bisa diawasi langsung oleh masyarakat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan negara. Keterbukaan informasi publik juga merupakan suatu hal prinsipil yang mesti ada dalam sebuah negara demokrasi.

Sebab hak untuk mendapatkan informasi untuk pengembangan diri dan lingkungannya, merupakan hak asasi yang harus dipenuhi negara kepada rakyat sebagaimana yang tercantum dalam UU 14 pasal 28 F yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Dalam konteks mendorong terciptanya good governance sebagai prasyarat penting menciptakan negeri yang baldattun thayyibatun warrabun gaffur, Diterapkannya prinsip-prinsip keterbukaan informasi oleh seluruh lembaga penyelenggara negara merupakan suatu kewajiban mengingat kekuasaan itu sendiri nyatanya dijalankan oleh manusia yang memang merupakan makhluk tuhan yang memiliki sifat dasar tamak, rakus, dan tidak akan pernah merasa puas.

Kekuasaan perlu diawasi oleh publik. Sebab kekuasaan itu sendiri dijalankan oleh manusia yang bahkan pernah disebut-sebut dalam literatur latin kuno sebagai homo homini lupus atau kalimat yang berarti bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Diktum Lord Acton (1834-1902) juga mengatakan bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely atau kekuasaan cenderung korup.

Pada era yang serba cepat dan dibanjiri informasi seperti saat sekarang ini, seharusnya prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik yang telah lama digaungkan diterapkan dan dijalankan oleh setiap lembaga penyelenggara negara, harusnya sudah berhasil mampu menekan angka koruptif aparatur negara.

Akan tetapi nyatanya, bahkan setelah 14 tahun UU KIP disahkan oleh DPR, prinsip-prinsip good governance yang diharapkan mampu didorong terciptanya dengan pengesahan undang-undang tersebut pun masih jauh panggang dari api. Terutamanya di Sumatra Barat, Prinsip-prinsip itu sampai saat ini pun harus diakui masih sebatas slogan di atas kertas semata.

Publik Sumbar tentu belum melupakan bagaimana sulit dan beratnya perjuangan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang dan Koalisi Masyarakat Sipil dalam memenangkan gugatan sengketa informasi penggunaan dana Covid-19 yang dilayangkan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar pada Februari lalu.

Sebelumnya juga telah terungkap melalui pemberitaan media bahwasanya sengketa informasi tersebut berkaitan dengan pengusutan kasus dugaan korupsi yang terjadi pada saat wabah pandemi Covid-19 silam, suatu kasus korupsi yang seharusnya apabila mengacu kepada keputusan MK para pelakunya bisa dijerat dengan hukuman mati, sebab dilakukan pada saat extraordinary atau pada saat wabah atau bencana alam.

Namun sayangnya, hingga saat ini kasus itu tidak kunjung ada kejelasan, bahkan penyelidikannya dihentikan serta gugatan sengketa informasi itu pun hingga kini belum ditindaklanjuti oleh BPBD Sumbar selaku tergugat dengan memberikan data itu kepada LBH Padang dan koalisi.

Hal itu pun bukanlah satu-satunya kenyataan yang membuktikan bahwa prinisip- prinsip keterbukaan informasi publik di banyak daerah, khususnya Sumatra Barat masihlah baru berjalan sebatas wacana. Dalam praktek sehari-harinya pun, sudah menjadi barang yang jamak diketahui oleh insan pers atau media bagaimana sulitnya mendapatkan data rinci mengenai peruntukan mata anggaran sebuah program atau pun proyek yang sedang dikerjakan dan dijalankan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD).

Saat dimintai data dan informasi semacam itu oleh media, kebanyakan dari kepala instansi akan berkilah bahwa data itu merupakan data internal yang tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat apalagi media. Bahkan kadang lucunya, alasan itu bahkan dilontarkan saat data yang diminta justru hanyalah data anggaran serupa isi spanduk penggunaan dana desa yang mestinya terpajang di kantor-kantor wali nagari dan diketahui oleh seluruh warga desa peruntukkan dan penggunaannya.

Padahal, di negeri yang serba ajaib dan masih menempati posisi ke-118 dari 176 negara paling korup di dunia ini, politik anggaran masihlah menjadi suatu hal yang harus diawasi secara ketat oleh publik melalui media atau pers yang disebut-sebut sebagai pilar demokrasi keempat. Sebab tanpa adanya sorotan, pengawasan maupun masukan dari media yang akan menjadi penyambung lidah dan telinga publik, sudah barang pasti setiap kebijakan akan lahir dari ruang gelap yang berbau amis potensi korupsi.

Oleh sebab alasan-alasan seperti itulah seluruh aparat penyelenggara negara harus memahami arti penting dijalankannya asas keterbukaan informasi publik di seluruh badan publik. Pada dasarnya, jika politik anggaran dijalankan dengan tepat, sesuai peruntukan, berdasarkan kebutuhan dan dikelola secara profesional, tentu tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Lantas bagaimana jika setelah data itu dibeberkan lalu terjadi perdebatan atau kegemparan di tengah masyarakat? Menjadi pemimpin di Sumatra Barat, harus tebal-tebal telinga, harus mampu menyaring suara-suara sumbang dan maksud yang terkandung jauh di dalamnya. Sebab bukankah kita tahu bahwa di nagari ini ada ungkapan “Masjid nan dibangun Gereja juo kecek urang.” Ya itulah dia tabiat asli masyarakat kita masyarakat Minangkabau!

Sejarah telah membuktikan bahwasanya sebelum Indonesia merdeka pun, daerah ini adalah daerah yang kaya dengan beragam aliran pemikiran yang unik dan tidak ditemukan di daerah lainnya di Indonesia. Di sini, Masyumi pernah jaya, ajaran Komunis bahkan sempat berkembang dan bersemi di sejumlah pondok pesantren ‘merah”. Namun soal nasionalismenya tidak perlu lagi dipertanyakan kontribusinya bagi Indonesia.

Dalam artian, bila meminjam istilah Tan Malaka, masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang senang bedialektika, terbiasa menyimak isu terkini, berdebat, bertukar pikiran, dan menggulirkan wacana baru. Sehingga sudah seharusnya tidak perlu alergi, takut, dan khawatir apabila sebuah kebijakan mendapatkan atensi berlebih dari publik.

Peningkatan atensi publik juga harus dipahami sebagai suatu hal positif dalam upaya meningkatkan partisipasi dan kepercayaan publik terhadap sebuah institusi. Hanya menjadi persoalan pembuktian lah bagi aparat negara untuk membuktikan dan menampilkan kinerja terbaiknya kepada masyarakat luas melalu segala saluran yang tersedia.

Idealnya, apabila memang prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik dijalankan dengan sebenar-benarnya oleh sebuah institusi, kontrol masyarakat terhadap jalannya kinerja penyelenggara negara akan kembali aktif dan berjalan. Apalagi dalam institusi tersebut diterapkan sanksi yang tegas bagi setiap pelaku pelanggaran dan penyimpangan. Peningkatan indeks kepercayaan publik hanya akan menjadi sebuah keniscayaan dan terbentuk dengan sendirinya.

Kritikan, masukan, maupun pendapat yang berkembang di tengah masyarakat perlu menjadi perhatian dan dijadikan bahan pertimbangan bagi unsur aparat pemerintah dalam memutuskan suatu kebijakan. Agar tidak berjalan satu arah, pesan-pesan dan informasi pembangunan perlu dititipkan dan disampaikan kepada masyarakat melalui media.

Begitupun dengan kendalanya, sebab, juga di tanah Minang ini jugalah lahir ungkapan, “Dima samak, di situ kito tabeh, ndak ado kusuik nan indak ka salasai.” Inilah keunikan sistem kepemimpinan di Sumatra Barat yag tidak semua daerah punyai, yaitu adalah konsep kepemimpinan Tali Tigo Sapilin yang didalamnya melibatkan unsur niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai yang disebut sebagai Tungku Tigo Sajarangan.

Dalam konsep kepemimpinan tradisional khas Minangkabau itu, ketiga unsur lapisan masyarakat, memiliki peran dan fungsinya yang saling mengisi dan menguatan, Menurut Mas’oed Abiddin (2004) ketiga unsur itu telah memberi warna dan corak yang sangat berpengaruh kepada perkembangan masyarakat Minangkabau.

Dilandasi dan ditutun oleh akhlak sesuai dengan tuntutan ajaran Islam sebagaimana falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah dan syarak mamutuih adat mamakai, nilai-nilai yang terkandung dalam sistem kepemimpinan ini telah menjadi pegangan hidup dalam tatanan masyarakat Minangkabau sejak dahulu kala.

Apabila terjadi kekusutan atau persoalan di masyarakat, ketiga unsur ini akan saling bahu membahu memecahkan masalah dan mencarikan solusinya, Bisa dikatakan bahwa ketiga unsur ini merupakan penjaga keseimbangan kekuasaan bagi masyarakat Minangkabau Tradisional. Akan tetapi, hanya dengan syarat ketiga unsur mengetahui duduk perkara persoalanlah solusi terbaik dapat dicarikan. Nah, di sanalah berjalannya asas keterbukaan informasi publik menjadi penting bagi masyarakat Minangkabau dalam upaya mewujudkan Sumatra Barat sebagai nagari yang baldattun thayyibatun warrabun gaffur. (*)

Exit mobile version