Saat dimintai data dan informasi semacam itu oleh media, kebanyakan dari kepala instansi akan berkilah bahwa data itu merupakan data internal yang tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat apalagi media. Bahkan kadang lucunya, alasan itu bahkan dilontarkan saat data yang diminta justru hanyalah data anggaran serupa isi spanduk penggunaan dana desa yang mestinya terpajang di kantor-kantor wali nagari dan diketahui oleh seluruh warga desa peruntukkan dan penggunaannya.
Padahal, di negeri yang serba ajaib dan masih menempati posisi ke-118 dari 176 negara paling korup di dunia ini, politik anggaran masihlah menjadi suatu hal yang harus diawasi secara ketat oleh publik melalui media atau pers yang disebut-sebut sebagai pilar demokrasi keempat. Sebab tanpa adanya sorotan, pengawasan maupun masukan dari media yang akan menjadi penyambung lidah dan telinga publik, sudah barang pasti setiap kebijakan akan lahir dari ruang gelap yang berbau amis potensi korupsi.
Oleh sebab alasan-alasan seperti itulah seluruh aparat penyelenggara negara harus memahami arti penting dijalankannya asas keterbukaan informasi publik di seluruh badan publik. Pada dasarnya, jika politik anggaran dijalankan dengan tepat, sesuai peruntukan, berdasarkan kebutuhan dan dikelola secara profesional, tentu tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Lantas bagaimana jika setelah data itu dibeberkan lalu terjadi perdebatan atau kegemparan di tengah masyarakat? Menjadi pemimpin di Sumatra Barat, harus tebal-tebal telinga, harus mampu menyaring suara-suara sumbang dan maksud yang terkandung jauh di dalamnya. Sebab bukankah kita tahu bahwa di nagari ini ada ungkapan “Masjid nan dibangun Gereja juo kecek urang.” Ya itulah dia tabiat asli masyarakat kita masyarakat Minangkabau!
Sejarah telah membuktikan bahwasanya sebelum Indonesia merdeka pun, daerah ini adalah daerah yang kaya dengan beragam aliran pemikiran yang unik dan tidak ditemukan di daerah lainnya di Indonesia. Di sini, Masyumi pernah jaya, ajaran Komunis bahkan sempat berkembang dan bersemi di sejumlah pondok pesantren ‘merah”. Namun soal nasionalismenya tidak perlu lagi dipertanyakan kontribusinya bagi Indonesia.
Dalam artian, bila meminjam istilah Tan Malaka, masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang senang bedialektika, terbiasa menyimak isu terkini, berdebat, bertukar pikiran, dan menggulirkan wacana baru. Sehingga sudah seharusnya tidak perlu alergi, takut, dan khawatir apabila sebuah kebijakan mendapatkan atensi berlebih dari publik.