Apa yang paling menarik dari membayangkan sebuah cerpen? Pertama, pasti adalah sebuah bayangan tentang bentuk cerita yang ringkas (ditandai oleh jumlah halaman yang lebih pendek dibandingkan novel).
Kedua, adalah bayangan sebuah bacaan yang tidak serumit puisi sehingga dibayangkan bisa dibuat untuk berekreasi, gak usah terlalu mikir ruwet-ruwet sebelum membaca, dan ketakutan-ketakutan pembaca awal yang biasanya selalu berprasangka rumit terhadap puisi, dan berprasangka berat terhadap novel sastra.
Ketiga, adalah bayangan sebuah bacaan yang bisa dibaca sekali tempoh, tidak membutuhkan waktu khusus, bisa dibaca dengan asyik sambil menunggu kereta misalnya, atau sambil menunggu masakan matang, atau bahkan sambil duduk di toilet menunggu sang pusaka azimat kehidupan keluar.
Ketiga bayangan itu, adalah umum ketika seorang pembaca biasa (bukan ahli sastra, pengarang, atau mahasiswa sastra) membayangkan sebentuk cerpen ia benar-benar membaca sebuah cerpen.
Tak ada yang salah dengan pembayangan itu. Cerita pendek, sebagai genre termuda dibanding puisi dan novel, juga tidak berkeberatan dituduh gampangan oleh banyak kalangan ahli. Bahkan, cerita pendek juga diam saja ketika dituduh bahwa ia adalah sejenis latihan mengarang sebelum pengarang melompat menjadi seorang novelis.
Seolah – olah, menulis cerpen adalah ajang latihan untuk menulis novel! Maka dulu, alkisah pada zaman cerpen belum lazim benar menjadi bagian kuat dari kesusastraan (yang diakui, minimal di Indonesia), tak ada sastrawan Indonesia yang merasa pede (baca: percaya diri) mengaku bahwa dia adalah menjadi seorang sastrawan kalau hanya bisa menulis cerpen.
Maka yang namanya sastrawan, kalau tidak penyair pastilah novelis. Tak ada satu pun sastrawan yang berani mengaku bahwa dia adalah seorang: cerpenis (sastrawan yang spesial hanya menulis cerpen).
Istilah cerpenis di Indonesia, adalah istilah yang kemudian muncul di era tahun 70-an, saat genre cerpen mulai menunjukkan kekuatannya, dan para pengarang cerpen mulai pede (percaya diri) untuk memunculkan identitasnya sebagai sastrawan penulis cerpen.
Genre cerpen memang memiliki sejarah yang unik. Diawali oleh keisengan mendokumentasikan cerita-cerita lucu yang ringan, sebagai pelepas lelah, M.Kasim (yang kemudian dikenal sebagai tokoh generasi penulis cerpen Indonesia pertama) pada 1910-an membukukan kisah – kisah ringannya dalam buku berjudul Teman Duduk. (*)