‘Bantai Adat’ Tradisi di Batu Basa Nagari III Koto Aur Malintang Sehari Jelang Lebaran

Oleh : EDY YASMAHADI

Tidak ditemui literatur yang menjelaskan sejak kapan dimulainya “Bantai Adat” yang dilaksanakan sehari menjelang lebaran idul Fitri, khususnya di Batu Basa Nagari III Koto Aur Malintang.
Pemotongan Lebaran yang disebut bantai adat tersebut sudah menjadi tradisi masyarakat setempat dan itu sudah berlangsung sejak puluhan tahun.
Utiah Munin, termasuk salah seorang peserta bantai adat paling senior, menceritakan, “Dulu ketika saya masih muda, membantai adat tak ada yang dijual semua daging sapi atau kerbau, dibagi-bagi sesama anggota. Satu ekor sapi anggotanya bisa mencapai 15 orang,” ungkapnya.
Disebutkan, begitu lebaran berakhir mereka membentuk kelompok yang beranggotakan 10 orang, kelompok ini disebut rombongan julo-julo.
Selama satu tahun, kesepuluh orang ini sekali sepekan melakukan kerja secara bergiliran baik antar sesama anggota maupun yang bukan anggota. Setiapkali melakukan kerja goro, anggota mengumpulkan uang melalui bendahara yang mereka sebut keuangan yang jumlahnya sudah disepakati lebih dulu. Selain itu, masyarakat yang bukan anggota rombongan julo-julo, dapat juga menggunakan jasa anggota kelompok ini untuk mengerjakan sesuatu, yang lazim disebut mambali julo-julo.
Awal lahirnya membantai adat ini dipelopori oleh ninik mamak yang prihatin dengan kondisi ekonomi sanak kemenakannya karena tidak semua kaum kerabatnya yang mampu membeli daging yang dijual pedagang. Namun saat ini tak ada lagi ninik mamak yang memikirkan sanak kemenakan, malah sebaliknya banyak oknum ninik mamak yang justru ketergantungan kepada sanak kenakannya.
Mengaca pada hal itu, maka lahir ide untuk membentuk kelompok seperti julo-julo yang masa aktifnya selama sepuluh bulan.
Filosofi yang terkandung dalam aksi kelompok ini adalah gotong royong dan kebersamaan saat menghadapi lebaran.
Memang, awal tahun 70 an, membantai adat bertujuan untuk membantu meringankan beban masyarakat akan kebutuhan daging saat menghadapi lebaran 1 Syawal, jauh dari nuansa bisnis, meskipun ada yang dijual hanya kepada perantau yang pulang kampung menyambut lebaran bersama keluarga.
Saat ini, hal seperti itu tidak ada lagi, ketersediaan daging pada saat lebaran didominasi oleh masyarakat yang berduit dan orientasinya adalah bisnis mencari keuntungan dan harga daging disesuaikan dengan harga pasar terkini, wajar kalau harganya mahal. (*)

Exit mobile version