“Selama berada di Sumbar, wisman tentu mengeluarkan uang lebih banyak dibandingkan wisnu. Artinya, mereka (wisman,red) tentu harus membeli tiket pesawat pulang pergi, biaya penginapan dan hotel selama berhari-hari. Mereka ini juga tidak mungkin di sini hanya satu atau dua hari saja, belum lagi biaya makan minum yang mereka keluarkan di restoran, oleh-oleh dan sebagainya,” katanya.
Dengan adanya hal itu, Budi menyebut bahwa penurunan status BIM berkemungkinan akan sangat berdampak terhadap dampak ekonomi yang ditimbulkan sektor pariwisata Sumbar. Apalagi, menurutnya, Pemprov Sumbar saat ini juga telah menargetkan tahun 2023 ini sebagai tahun kunjungan wisata bertajuk VBWS 2023.
“Jadi dampak penurunan status BIM ini memang ada bagi sektor wisata Sumbar. Makanya kita berharap agar pemerintah pusat mempertimbangkan kembali wacana ini untuk diberlakukan bagi BIM,” ucapnya.
Kendati demikian, Budi tetap optimis bahwasanya VBWS yang telah dicanangkan tetap bisa mencapai target mendatangkan 8,2 juta wisatawan ke Sumbar, dengan cara optimalisasi penggarapan pasar wisatawan nusantara.
Seandainya wacana penurunan status BIM akhirnya tetap dieksekusi oleh pemerintah pusat, kata Budi, pihaknya akan segera mengambil langkah strategis. Yakninya dengan mengupayakan penambahan rute penerbangan domestik langsung atau direct flight ke Sumbar.
“Jika seandainya wacana itu tetap dieksekusi, mungkin kita akan memperbanyak direct fight domestik. Sesuai dengan program pemerintah saat ini, yakninya bangga berwisata di Indonesia atau BBWI yang akan menyasar wisatawan nusantara dalam negeri,” ucapnya.
Budi menyebut, meskipun nilai spend of money wisnu relatif lebih sedikit dibandingkan wisman, namun jumlah kunjungannya dan akumulasinya cenderung besar dari kunjungan wisatawan dari luar negeri.