Sebab pada dasarnya, manusia dan alam harus hidup berdampingan. Sehingga, segala bentuk aktivitas ekonomi yang bersifat eksploitatif dan merusak alam, sudah semestinya harus dihentikan agar tidak menimbulkan bencana ekologis di kemudian hari.
“Kami menilai, prinsip pariwisata berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ini, sering kali diabaikan. Tidak hanya di kawasan Lembah Anai saja, di Ngarai Sianok maupun di daerah-daerah lainnya pun itu terjadi,” ungkap Tommy.
Ia menjelaskan, kawasan yang berada di sisi kiri dan kanan sempadan Daerah Aliran Sungai (DAS), sejatinya adalah daerah resapan yang memiliki fungsi lindung. Kawasan ini, sudah semestinya steril dari segala aktivitas pembangunan.
Baik bagi pemukiman, maupun aktivitas usaha. Namun sayangnya hal ini sangat sering diabaikan. Hal ini bisa terlihat dari mulai menjamurnya tren kafe Instagramable yang berada di pinggiran sungai di berbagai daerah.
“Padahal sudah jelas 100 meter ke kiri dan ke kanan sempadan sungai adalah kawasan lindung yang harus steril dan juga rawan bencana. Namun masih banyak pengusaha yang ngotot mendirikan bangunan tanpa adanya teguran atau sanksi tegas dari pemerintah daerah,” tegas Tommy.
Menurut Tommy, mendirikan bangunan di areal sempadan sungai atau bahkan di lahan yang terletak di bekas aliran sungai, sesungguhnya sangatlah berbahaya. Sebab pada kenyataannya, sungai memiliki sifat alami akan kembali mencari aliran lamanya.