Kemudian ada tantangan bagi para petugas yang menanganinya, mulai dari APH, pendamping, masyarakat pemerhati, CSO dan saksi ahli yang dihadirkan dalam menguatkan perspektif penanganan kejahatan seksual yang berpihak pada korban, perlu terus menerus dikuatkan dalam tahap panjang prosesnya.
“Jika salah menarasikannya, justru menempatkan korban menjadi pesakitan, diserang secara psikologis. Perjalanan kasus akan lumpuh, bila berhadapan dengan kasus yang orang tua dan korbannya menjauh dari proses hukum karena berbagai sebab,” ujarnya lagi.
Menurut Jasra, sangat penting semua pihak melihat yurisprudensi kasus-kasus sebelumnya yang telah diputuskan pengadilan agama dan pengadilan negeri. Ia menuturkan, penanganan kasus harus belajar dari kasus kejahatan seksual yang dapat dipedomani dan adanya kasus berakhir damai.
Akibat diselesaikan dengan pola restorative justice, perkawinan siri, dispensasi perkawinan yang semuanya terkait dengan memanipulasi perbuatan. Bicara pernikahan siri misalnya, sesuai UU 1 Tahun 1974 perkawinan yang sah menurut agama, namun harusnya tidak selesai di situ, karena wajib didaftarkan untuk mendapatkan pengakuan negara,” tutur Jasra.
Pada kasus seperti ini, Jasra menuturkan, hakim harus cermat dalam memperhatikan dispensasi pada perkawinan yang sebenarnya sangat tidak layak. Hal ini karena Indonesia sebagai negara hukum membatasi usia perkawinan minimal 19 tahun.
Begitupun KUHP bicara bersetubuh dengan anak di bawah umur dapat dipidana berat. Sehingga restorative justice dengan alasan apapun, dapat melanggar hak anak. Undang-Undang (UU) perlindungan anak dan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual saling menguatkan dalam pemberatan hukuman untuk para pelaku.
“Karena dispensasi kawin dianggap tidak layak, karena di sana rekonstruksi timpang. Tidak ada yang mau anaknya dihadapkan unsur kesusilaan yang dilanggar seperti ini. Jangan sampai ada anggapan di masyarakat, mereka yang mengerti agama namun menggunakan istilah itu dengan tidak pada tempatnya, seperti mendapatkan dispensasi karena sudah nikah mutah atau nikah siri,” tuturnya. (*)